REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Imam besar al-Azhar di Kairo, Mesir Ahmed al-Tayeb, menyatakan, klaim kepemilikan beberapa sumber daya alam dan merampasnya dengan cara yang merugikan negara lain berbahaya. Selama pidato virtual pada Jumat (4/6) dalam rangka perayaan Hari Lingkungan Dunia PBB, al-Tayeb mengatakan, agama adalah bagi mereka yang percaya dan menghormati hukumnya.
Dalam hal ini, ia secara eksplisit menyatakan kepemilikan sumber daya penting masyarakat adalah milik publik. Menurutnya, tidaklah benar dalam keadaan apa pun menganggap sumber daya itu sebagai milik seorang individu. Apalagi, individu atau negara yang menggunakan atau merampasnya tanpa mempertimbangkan negara yang bergantung pada sumber daya publik tersebut.
Dia mengatakan, air menjadi sumber utama dari sumber daya penting. Dilansir di Arab News, Senin (7/6), al-Tayeb mengatakan, hukum agama menetapkan kepemilikannya harus kolektif dan individu, kelompok atau negara dilarang merampasnya tanpa persetujuan yang lain.
Pernyataan al-Tayeb ini datang di tengah perselisihan mengenai Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) yang melibatkan Mesir, Sudan, dan Ethiopia. Ethiopia mulai mengerjakan bendungan itu pada 2011.
Mesir khawatir GERD akan mengancam pasokan airnya dari Sungai Nil. Sudan mengkhawatirkan keamanan bendungan dan aliran airnya sendiri.
Pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Mesir mengecam pernyataan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengenai rencana membangun lebih dari 100 bendungan di berbagai bagian negara itu. Mesir menyatakan rencana Ethiopia itu merupakan kelanjutan dari pendekatan yang disesalkan yang mengabaikan hukum internasional.
Ethiopia berencana menampung 13,5 miliar meter kubik air selama pengisian kedua waduk Grand Ethiopian Renaissance Dam pada Juli. Namun, ada keberatan dari negara-negara hilir Mesir dan Sudan atas langkah tersebut karena tidak ada perjanjian yang mengikat secara hukum.
Juru bicara kementerian Ahmed Hafez mengatakan, pernyataan Abiy itu mengungkapkan bagaimana Ethiopia menganggap Sungai Nil dan sungai internasional lainnya yang berbagi dengan negara-negara tetangga digunakan untuk melayani kepentingannya sendiri. Hafez mengatakan, Mesir selalu mengakui hak semua negara Lembah Nil untuk mengembangkan proyek air dan mengambil manfaat dari sumber daya Sungai Nil.
Namun, kata dia, proyek dan fasilitas air tersebut harus ditetapkan setelah ada koordinasi, konsultasi, dan kesepakatan dengan negara-negara yang mungkin terkena dampaknya, terutama negara-negara hilir.
Mesir, Sudan, dan Ethiopia telah melakukan diplomasi internasional dalam beberapa pekan terakhir, menjelaskan sikap dan perkembangan mereka dalam negosiasi yang berakhir buntu. Mesir memiliki 100 juta penduduk yang lebih bergantung pada Sungai Nil untuk lebih dari 95 persen air tawarnya.
Mesir telah memperingatkan pengisian kedua akan menyebabkan ketegangan di kawasan itu dan akan menyebabkan ketidakstabilan di Afrika Timur dan Tanduk Afrika. Sedangkan, Sudan khawatir bendungan itu akan membahayakan nyawa 20 juta warganya jika kesepakatan tidak tercapai sebelum pengisian kedua.