REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Imam besar Al-Azhar, Ahmed El-Tayeb, memuji parlemen Mesir, setelah menunda pemungutan suara untuk rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang mengatur Dar Al-Iftaa, atau House of Fatwa (fatwa agama).
RUU tersebut telah menimbulkan kontroversi yang cukup besar baru-baru ini. Hal ini disebabkan lembaga Sunni yakin itu dapat membahayakan kemerdekaannya.
"Mesir, di bawah kepemimpinan Presiden Abdel-Fattah El-Sisi, selalu ingin melestarikan lembaga Al-Azhar dan mendukung serta membantunya memenuhi misinya menyebarkan moderasi dan toleransi," kata Ahmed El-Tayeb, dilansir dari laman Ahram Online, Selasa (25/8).
Hal tersebut dijadwalkan untuk pengambilan suara oleh parlemen pada Senin (24/8). Akan tetapi Ketua Parlemen, Ali Abdel-Aal mengatakan kepada anggota parlemen, bahwa dia memutuskan untuk tidak memperdebatkan undang-undang tersebut.
Dalam pernyataan resmi pada Senin, El-Tayeb mengatakan, langkah ini memastikan tanpa keraguan bahwa Mesir akan selalu tetap menjadi negara yang menghormati konstitusi. Selain itu juga menghargai institusi nasionalnya, termasuk Al-Azhar.
RUU tersebut, yang dirancang oleh komite agama parlemen, mengusulkan Dar Al-Iftaa diawasi oleh kementerian kehakiman, alih-alih lembaga Sunni. Di samping itu juga bertujuan untuk menata kembali kewenangan mufti agung, ketua Dar Al-Iftaa, serta tata cara pengangkatan, masa jabatan, dan tata cara perpanjangan masa jabatan mufti.
Al-Azhar yakin undang-undang baru itu akan membentuk otoritas independen, di bawah kementerian kehakiman yang tidak akan diawasi oleh Al-Azhar.
Adapun Badan Sunni itu memperingatkan bahwa pemberian otoritas yang dimiliki oleh kementerian kehakiman, dan tidak berafiliasi dengan Al-Azhar untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut melanggar konstitusi dan kemerdekaan Al-Azhar.