Senin 24 Aug 2020 13:36 WIB

Pahlawan tak Dikenal Masa: Peran Ulama dan Santri

Ulama dan santri terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pahlawan tak Dikenal Masa: Peran Ulama dan Santri. Ilustrasi
Foto:

Sebab dari lemahnya sebuah perekonomian bangsa, maka akan melemah pula kekuatan dan persatuan penduduk negeri. Sehingga para Bupati dan Sultan banyak mengadahkan tangannya guna memenuhi kebutuhan hidup dan gaji dari hasil keringat para buruh kerja paksa pribumi dengan cara tunduk di bawah perintah Belanda.

Untuk menjawab tantangan ini; para Ulama bergerak membangkitkan perekonomian pribumi melalui pasar sebagai gerbang kebangkitan nasional. Kemudian Hadji Samanhoedi mendirikan Sjarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 dan Nahdhtotul Tujar tahun 1920 M oleh K.H Wahab Hasbullah sebagai wadah persatuan dan kesatuan dalam memperbaiki kondisi perekonomian pribumi lewat perniagaan.

Seharusnya kebangkitan Syarikat Dagang Islam atau pendirinya Hadji Samanhoedi sebagai pelopor kebangkitan Nasional dijadikan peringatan “Hari Kebangkitan Nasional”. Sebab Sjarikat Dagang Islam merupakan awal organisasi kebangkitan Nasional pada masa itu. Namun, sejarawan Barat mencatumkan Hari Lahir Boedi Utomo lah yang dicantumkan pada Harkitnas 20 Mei 1908 M.

Politik Etis melalui Edukasi: melarang anak pribumi untuk mengenyam bangku pendidikan. Sebab jika generasi pribumi pandai dan cerdas, maka penjajahan akan segera berakhir, dan Nusantara akan merdeka.

Para Ulama menjawab tantangan ini dengan memaksimalkan potensi pendidikan pesantren sebagai basis persiapan masa depan bangsa, maka dari sinilah akan lahir tokoh-tokoh penggerak nasional. Lahirlah tokoh nasionalis agamis KH. Ahmad Dahlan jebolan pesantren, dengan mendirikan organisasi Persyarikatan Muhammadiyah 18 November 1912 M sebagai wadah yang berperan mencerdaskan anak bangsa di tengah kebodohan akibat penjajahan. Melalui lembaga pendidikan di berbagai daerah, hingga luar pulau Jawa.

Namun sayang, sejarah menulis bahwa julukan “Bapak Pendidikan” bukan KH. Ahmad Dahlan, melainkan Ki Hadjar Dewantara lewat lembaganya Taman Siswa yang lahir sepuluh tahun setelah berdirinya Muhammadiyah (1922 M).

Di tengah bercerainya umat Islam dan komunikasi hubungan antara Ulama berjauhan, untuk membangkitkan sebuah persatuan Ulama maka didirikanlah “Persyarikatan Oelama” oleh K.H Abdul Halim. Sehingga para Ulama bisa terhimpun dalam sebuah organisasi demi terwujudnya nasionalisme dan kesadaran bertanah air.

Kemudian di tengah melebarnya permasalahan kegamaan dan simpang siur politik Nasional, disertai runtuhnya Turki Utsmani menjadi negara sekuler, dan merebaknya wahabi sebab lengsernya Raja Husein (berpaham Aswaja) sang penguasa Arab oleh Ibnu Su’ud (Mertuanya Syekh Abdullah bin Wahab, pendiri Salafi Wahabi) yang mendapat sokongan langsung dari kerajaan Protestan Anglikan Inggris, sehingga semuanya akan berpotensi buruk terhadap bangsa dan agama.

Maka, Syekh Hasyim Asy’ari mendirikan “Nahdhlotul Ulama” pada 13 Januari 1926 M sebagai wadah kebangkitan para Ulama untuk meneguhkan Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan membentengi umat dan bangsa dari paham Kristenisasi, Sekulerisasi dan Liberalisasi. Sehingga bisa terjalin dan tertata secara rapih pergerakan para Ulama.

Para Ulama NU inilah yang kemudian hari akan menjadi penggerak di setiap daerah masing-masing melawan penjajahan dan melindungi tanah air. Sehingga meletusnya Resolusi Jihad Nahdhotul Ulama 22 Oktober 1945, kemudian di lanjut Resolusi jihad 7 November 1945 yang dipelopori oleh para Ulama, Santri dan kaum muslimin.

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement