Jumat 10 Jul 2020 08:21 WIB
Islam

Missi Diplomatik RI, Persaudaraan Islam, Pejoratif Kadrun

Arti persaudaraan Islam dan jasa bangsa Arab di awal kemerdekaan.

Agus Salim ketika di Mesir menjalankan misi diploamatik pengakuan kedauatan
Foto:

SAMPAI sekarang saya tidak bisa melupakan hari itu, tanggal 10 Juni 1947. Kami semua diantar Abdul Mun’im menuju gedung Kementerian Luar Negeri Mesir sekitar pukul 09 pagi, untuk menghadiri upacara penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia.

Memang sehari sebelumnya sudah disiarkan di koran-koran bahwa Kabinet Mesir telah memutuskan untuk menyetujui ditandatanganinya perjanjian persahabatan dan kerja sama antara Mesir dengan Indonesia di bidang sosial ekonomi.

Berita itu tentu saja mengejutkan Duta Besar Belanda di Mesir, tetapi sangat menggembirakan masyarakat Indonesia di Mesir, antara lain Saudara Zein Hasan (Ketua Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia) dan kawan-kawannya, dan dua bersaudara Hasan dan Ali Baktir yang lewat karangan-karangan dan sajak-sajaknya yang dimuat di koran-koran Kairo, terus menerus melakukan usaha memperkenalkan Indonesia serta mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.

Maka, pukul 09.00 pagi, kami sudah siap di ruang tunggu Kementerian Luar Negeri Mesir. Jabatan Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir pada saat itu dirangkap oleh PM Nokrashi Pasha. Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar kerja PM Nokrashi dengan wajah kecut, dan langkah tergesa-gesa. Kami kemudian langsung dipersilakan masuk.

PM Nokrashi  Pasha meminta maaf karena telah membiarkan delegasi menunggu lama di luar. Menurut dia, Duta Besar Belanda itu langsung saja “menyerbu” masuk ke ruang kerja untuk mengajukan protes sehubungan dengan akan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda, serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Diplomasi Agus Salim, Dari Minang Merangkul Dunia – KALAWARA

  • Keterangan foto: Penandatangan Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir yang berisi pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia.

Perdana Menteri kemudian menjawab: “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir, dan tidak bisa diabaikan.”

Begitulah jawabannya, sehingga Duta Besar Belanda meninggalkan ruangan dengan kecewa.

Naskah Perjanjian itu pun kemudian ditandatangani oleh PM Nokrashi selaku Menlu Mesir, dan Haji Agus Salim selaku Menteri Muda Luar Negeri RI, disaksikan Dr. Nazir Sutan Pamuntjak, Saudara Rasjidi, Abdul Mun’im, Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil, dan saya sendiri.

Tidak dapat dibayangkan perasaan saya ketika menyaksikan upacara itu, tak terlukiskan dalam kalimat karena tidak akan pernah dapat sebanding dengan rasa yang menggelora. Lega dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena Republik Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan de jure dari dunia internasional.

Tasbih dari Pahlawan Rifkabilen

ADA yang tidak boleh dilupakan, yaitu tentang seorang wartawan ulung dan seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan. Wartawan itu adalah M. Ali Attahir, seorang Palestina yang terkenal karena surat kabarnya yang bernama Assyura (Pembela Bangsa-bangsa Terjajah).

Jauh sebelum naskah Perjanjian ditandatangani, sampai bertahun-tahun sesudahnya, ia selalu membantu perjuangan kita. Saudara  Rasjidi dapat menceritakan bantuan yang diberikan M. Ali Attahir ketika KBRI mengalami kesulitan semasa Belanda menggempur Republik dan menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, sejumlah menteri, dan pemuka Republik. Bantuan moral dan materialnya menunjukkan keyakinannya pada kesucian perjuangan bangsa Indonesia. Semoga Allah membalas semua jasanya.

Yang satu lagi adalah seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan, Amir Abdulkarim Al-Khattabi yang diberi suaka oleh Pemerintah Mesir. Menurut ceritanya, pada saat dia sedang dibawa ke Perancis dari Pulau Rignon untuk ditahan lebih lanjut, kapal yang membawanya stop sebentar di Portsaid, dan Walikota Portsaid atas permintaan Raja Farouk mengajaknya berkeliling kota.

Akan tetapi, di balik acara keliling kota itu telah disiapkan oleh pejuang-pejuang Maroko dengan bantuan Mesir “penculikan” pahlawan Rifkabilen itu. Dengan “penculikan” itu, Amir Abdulkarim dapat dibebaskan dan dibawa ke Mesir. Pemerintah Mesir kemudian memberi suaka politik kepadanya.

Peristiwa ini sangat menggemparkan dunia, khususnya Timur Tengah, sehingga Perancis kemudian menarik Duta Besarnya dari Kairo, padahal hubungan diplomatik Mesir dengan Perancis bukan main eratnya. Raja Farouk tidak mempedulikan hal itu, karena: “Sebagai Muslim, saya tidak bisa menolak permohonan orang yang meminta perlindungan. Apalagi jika dia seorang pejuang Islam yang gigih.”

Melalui cara yang berbelit-belit, dengan sedikit mengelabui petugas, akhirnya saya dapat menemui Amir Abdulkarim di tempat persembunyiannya. Suatu pertemuan yang mengesankan, penuh dengan hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman yang dapat bermanfaat untuk perjuangan di Indonesia.

Ketika saya pamit, ia menyerahkan haiyah, seuntai tasbih, kepada saya. “Anakku, saya tidak punya apa-apa. Hanya tasbih ini yang selalu aku gunakan untuk menghitung kata-kata pujian dan permohonan kepada Allah selama 21 tahun aku di pengasingan Pulau Rignon. Dan kini, aku merdeka. Bawalah tasbih ini. Insya Allah, Tuhan akan menolongmu. Bukan tasbih ini yang menolong, akan tetapi kata-kata pujian dan doa (yang ditulisnya di buku notes saya) yang dihitung terus oleh tasbih ini, yang menyebabkan Allah menolongmu.”

Pada saat itu, saya tidak begitu memandang penting masalah tasbih dari pahlawan Rifkabilen ini. Baru kemudian hari saya mengerti makna kata-katanya.

Perjanjian sudah ditandatangani. Semua merasa gembira dan bersyukur. Semua yang berurusan dengan Perjanjian itu, mulai dari para anggota Liga Arab, wartawan-wartawan Kairo, kaum intelektual di sana, begitu juga kalangan politik, memberikan dukungannya.

Menarik untuk dianalisis, dukungan itu. Sebab kaum oposisi Partai Wafd pun memberikan dukungan hebat.

Satu hal yang dapat dikatakan tentang latar belakang bantuan dan dukungan itu, seperti diucapkan oleh Abdul Mun’im ketika ia berpidato di Istana Kepreidenan Yogya, tiga bulan sebelumnya, ikatan Islam inilah yang mendorong timbulnya dukungan kepada perjuangan bangsa Indonesia. Jiwa Islam mendidik kita untuk selalu menentang semua bentuk penjajahan yang pada dasarnya adalah perbudakan.

Seperti tertulis di awal karangan ini, terasa sekali hangatnya persaudaraan itu.

Mengaku Agen Rahasia

PESAWAT BOAC meninggalkan Kairo. Waktu itu tanggal 18 Juni 1947. Salah seorang penumpangnya adalah saya yang berangkat sendirian menuju Singapura.

Saat itu Haji Agus Salim, dengan gaya seorang jenderal, bicara: “Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!”

Dokumen-dokumen yang saya bawa antara lain dari Raja Mesir, Farouk, dan dari Mufti Besar Palestina, Amin Al-Husaini.

Saya kemudian pamit dari beliau. Hanya satu yang kurang dari cara saya berpamitan, yaitu saya tidak memberi hormat (saluut) secara militer untuk melengkapi perintahnya yang seakan-akan diberikan oleh seorang komandan di medan pertempuran.

Sebulan sebelum beliau wafat, saya masih sempat ketemu dia di rumah putrinya, Yoyet, di Jalan Sagan,Yogyakarta. Dia masih saja keras kepala, mau menang sendiri, dan pintar bukan main. Masih persis seperti Haji Agus Salim yang saya kenal sejak zaman Belanda.

Saya katakan waktu itu: “Oude Heer memang kejam ketika memberi perintah saya pulang dari Mesir dengan dokumen perjanjian. Tega betul.” Dia cuma menjawab dengan senyum. Itulah tetangga, teman, dan guru saya dalam masalah-masalah politik. Semoga Allah membasahi terus makamnya dengan rahmat tak putus-putusnya.

Kesulitan demi kesulitan menimpa ketika saya berangkat ke Singapura. Pesawat terbang yang saya tumpangi mampir-mampir di Bahrain, Karachi, Calcuta, Rangon, baru akhirnya sampai di Singapura. Padahal tidak satu pun negeri-negeri itu memiliki perwakilan Indonesia. Bahkan nama Indonesia pun tidak dikenal. Saya terpaksa menggertak dengan mengaku agen rahasia undangan PM  Nehru, ketika tempat duduk saya akan dicatut untuk orang lain di Calcuta. Kapal terbang yang saya tumpangi dua kali diganti, dari kapal terbang air ke kapal terbang biasa.

Akhirnya sampai juga di Singapura. Tak seorang pun menjemput di airport, sedang uang sudah betul-betul menipis. Almarhum Mr. Oetojo yang waktu itu menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri RI, tidak tahu menahu tentang kedatangan saya, dan tidak pula menolong saya yang kekurangan uang untuk pulang. Ditambah lagi dengan berita bahwa Kabinet Sjahrir sudah demisioner.

Untunglah masalah ini diketahui oleh seorang dermawan yang terkenal di Singapura, Ibrahim Assegaf (almarhum) dan seorang teman bernama Ali Talib Yamani. Mereka kemudian membantu saya karena simpatinya kepada perjuangan Indonesia. Terutama Saudara Ali Talib Yamani inilah yang mengusahakan sehingga saya mendapat tiket kapal terbang setelah sekian hari tertahan di Singapura, sebab perwakilan Belanda di Singapura tidak mau memberikan visa.

Dengan berbagai akal, akhirnya pada tanggal 13 Juli 1947, pesawat KLM yang saya tumpangi tinggal landas menuju Jakarta.

Airport Kemayoran tanpak menegangkan. Penjagaan ketat, karena adanya ultimatum dari van Mook. Polisi Militer (dahulu Militer Polisi, MP) berkeliaran di mana-mana. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar dapat lolos dari pemeriksaaan.Baru di saat itu saya teringat akan tasbih pemberian Amir Abdulkarim dan doa-doa yang diajarkannya.

Jari-jari tangan kanan menggenggam tasbih itu dan tangan kiri memegang aktentas catatan penting, sementara Naskah Perjanjian masih tetap di dalam sepatu! Aktentas itu masih aktentas lama yang saya bawa ke Kairo dengan kunci yang juga masih sering macet.

Entah bagaimana, aktentas, juga koper saya, lolos dari pemeriksaan. Petugas itu seperti sedang buta ketika saya lewat di depannya. Koper dan aktentas langsung saya sambar, untuk kemudian bergegas mencari taksi menuju kediaman Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin.

“Alhamdulillah, aman!”, begitu kata saya sambil menaruh diri di jok mobil Austin yang meninggalkan Kemayoran.

Presiden Sukarno Terheran-heran

PAGI-PAGI tanggal 19 Juli 1947, saya terbang ke Yogyakarta bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin untuk melaporkan kunjungan delegasi ke Mesir dan hasil-hasil yang dicapai, kepada sidang kabinet.

Presiden Sukarno merasa heran sekali melihat semua dokumen masih tetap utuh dalam sampul yang dilak (dilem). Hal itu hanya mungkin terjadi jika tidak terkena pemeriksaan, padahal airport Kemayoran sedang dijaga ketat oleh Polisi Militer.

“Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” tanya Bung Karno. Saya jawab singkat saja: “Untung.”

Bersama dengan jawaban singkat itu ingatan saya melayang ke sebuah rumah kecil di luar kota Kairo. Kepada seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan yang bernama Amir Abdulkarim.

Siang itu juga saya langsung kembali ke rumah di Sala, dan bertemu keluarga. Begitu menggembirakan reuni keluarga itu, apalagi melihat putri yang baru saja dilahirkan beberapa hari sebelumnya. Bayi itu saya beri nama Luqyana yang berarti “Pertemuan Kita”.

Beberapa tahun yang lalu, kepada seorang pejabat tinggi di pemerintahan Orde Baru saya usulkan agar kepada orang-orang di Mesir yang berjasa dalam masalah Perjanjian Persahabatan, selagi mereka masih hidup, diberikan penghargaan. Paling sedikit pemerintah kita mengirim undangan agar mereka hadir pada upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara.

Usul itu diterima baik. Akan tetapi, sesudah sekian tahun, setelah orang-orang yang berjasa itu menjadi almarhum, usul itu tidak juga dilaksanakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement