Jumat 10 Jul 2020 08:21 WIB
Islam

Missi Diplomatik RI, Persaudaraan Islam, Pejoratif Kadrun

Arti persaudaraan Islam dan jasa bangsa Arab di awal kemerdekaan.

Agus Salim ketika di Mesir menjalankan misi diploamatik pengakuan kedauatan
Foto:

DARI airport kami langsung menuju ke Hotel Continental. Di mobil salah seorang mahasiswa kita berbisik kepada saya: “Apa Pak Baswedan tidak punya pakaian lain? Masak anggota delegasi kok pakaiannya stelan kain khaki!”.

Saya jawab bahwa saya tidak begitu siap dalam soal pakaian. “Wah sulit ini, Pak,” katanya. “Tukang buka pintu mobil di Hotel Continental, seragamnya wol!”.

Dan betul juga, sebab sesampai di hotel terlihat semua penghuni hotel itu tampak berpakaian lengkap. Tetapi saya tetap berjalan segagah mungkin, karena toh “mode” stelan kain khaki tidak ada di ruang itu, sehingga bisa saja dianggap sebagai mode yang justeru paling baru!

Setelah tiga hari, baru saya berani turun makan di lobby hotel, setelah dibelikan pakaian yang cukup pantas untuk dikenakan oleh seorang anggota delegasi diplomatik.

Hari berikutnya, koran terbesar di Kairo, Al-Ahram, memuat foro delegasi RI, dan mulailah bermunculan tamu-tamu yang ingin berkenalan dengan delegasi kita. Cukup repot juga.

Saya sendiri pada saat itu ditugaskan oleh Haji Agus Salim, yang menjadi Ketua Delegasi, untuk menerjemahkan sebuah buku tentang tata cara bagi para diplomat. Buku itu karya seorang diplomat kawakan Mesir yang berkunjung ke hotel. Maklumlah, kami masih tergolong “orang udik” dalam hal etiket diplomasi. Padahal saya sudah tidak sabar lagi ingin memuaskan dorongan jiwa wartawan, tetapi Haji Agus Salim melarang saya meninggalkan hotel untuk “keluyuran” mencari berita.

Sebagai bekas wartawan yang menjabat Menteri Muda Penerangan, saya berpendapat bahwa waktu yang ada tidak boleh disia-siakan dengan mendekam di hotel. Akhirnya saya menyelinap pergi, dan dengan diantar teman-teman mahasiswa Indonesia, saya mulai “ngeluyur” mengunjungi tokoh-tokoh pers, para sastrawan, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Hal ini terbukti kemudian sangat penting untuk menyebarkan informasi tentang Indonesia dan untuk mencari tanggapan masyarakat terhadap kedatangan delegasi kita.

Acara “keliling” itu tidak begitu sulit, karena sebagian dari tokoh-tokoh itu sudah lama saya kenal lewat tulisan-tulisan mereka dalam koran atau majalah Mesir yang bisa didapat di Indonesia.

Tentu saja, Bapak Ketua Delegasi, Haji Agus Salim, marah besar kepada saya. Tetapi, ketika saya laporkan hasil-hasil “keluyuran” itu, beliau diam saja. Wajahnya tidak berubah, meskipun saya tahu pasti bahwa hatinya senang. Sekian tahun bertetangga dengan beliau, sejak zaman Belanda, membuat saya cukup “mafhum” akan “gaya”-nya. Begitulah Bapak kita yang eksentrik itu.

Salah satu dari sekian banyak yang saya kunjungi adalah pemimpin redaksi Al-Ahram. Dari dia banyak saya dapatkan informasi penting mengenai tanggapan masyarakat terhadap kunjungan kita. Menurut sang pemimpin redaksi, yang biasanya baru masuk kantor sekitar pukul 12 malam, delegasi kita sangat dimanjakan oleh pemerintah Mesit. Sebab, begitu kata dia, situasi politik dalam negeri Mesir masih centang perenang. Ada masalah oposisi, ada problem Palestina yang sedang gawat-gawatnya, ditambah kemelut hubungan diplomatik dengan Perancis gara-gara pemerintah Mesir memberi bantuan kepada pemberontak Maroko. Tetapi toh dalam suasana semacam itu, pemerintah Mesir memperhatikan delegasi Indonesia, meskipun kami mesti menunggu lama sebelum urusan pengakuan kedaulatan selesai.

Betul juga keterangan dari pemimpin redaksi Al-Ahram itu, karena delegasi masih harus bersabar untuk bertemu dengan anggota-anggota Liga Arab, Perdana Menteri Nokrashi Pasha, dan tentu saja dengan Raja Farouk yang memegang kunci masalah pengakuan terhadap RI.

Tata cara diplomatik Mesir yang sangat formal itu, juga merupakan handicap. Sebab meskipun pada prinsipnya soal pengakuan itu sudah tidak menjadi problem, tetapi prosedur-prosedur formal harus tetap dilalui. Dalam hal ini delegasi kita sangat berhutang budi kepada Abdul Mun’im yang mengatur semua kontak dengan pihak-pihak resmi, yang dalam tindakan dan semangatnya seakan-akan ia salah seorang dari anggota delegasi.

Karang Persaudaraan Islam

SIAPA pun yang pernah bertemu dengan Haji Agus Salim dan bercakap dengan beliau, pasti mengagumi intelek yang brilian ini, julukan yang diterimanya sejak ia mulai muncul di medan pergerakan politik Indonesia. Kekaguman ini bukan cuma dimiliki kawan-kawannya, tetapi juga oleh lawan-lawannya.

Meskipun bukan sarjana, namun kecerdasan dan ketangkasannya berbicara serta berdebat, dan bakat begitu juga kemampuannya menguasai bahasa asing –termasuk bahasa Arab— sangat mengagumkan. Begitu pula kesan dari orang-orang Mesir yang bertemu dengan beliau, padahal orang Mesir dikenal sebagai tukang ngobrol, ahli debat dan bersilat lidah. Asyik betul memiliki Ketua Delegasi semacam Haji Agus Salim ini.

Mission Diplomatique ini –nama yang diberikan Haji Agus Salim kepada delegasi kita— mengadakan jumpa pers tidak lama sesudah tiba di Kairo.

Sebelum acara itu dimulai, dibagikanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah ditulis dalam bahasa Inggeris, kepada yang hadir. Sebagai Ketua Delegasi, Haji Agus Salim membeberkan sejarah dan perjuangan RI sejak zaman Belanda.

Kondisi politik Mesir pada saat itu menyebabkan delegasi RI terpaksa menunggu sampai kira-kira tiga bulan sebelum semua pekerjaan selesai.

Waktu yang lama itu saya manfaatkan untuk lebih mengenali masyarakat Mesir, dan memperkenalkan Indonesia kepada mereka. Hampir setiap hari, disertai dengan teman-teman mahasiswa, saya keliling kota dengan trem kota. Banyak hal yang mengungkapkan bahwa masyarakat awam, bahkan para intelektualnya, kurang mengetahui Indonesia.

Orang-orang Mesir umumnya, mereka hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh seperti India dan Cina. Sebagian kecil kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji –yang karena pernah pergi ke Makkah— menjadi tahu tentang Jawa.

Suatu malam kami diundang menghadiri pesta penobatan raja di gedung Qasr Azza’faran. Pesta itu diselenggarakan oleh PM Nokrashi Pasha dan dihadiri seluruh korps diplomatik. Seperti biasa ketika akan pulang, melalui pengeras suara mobil yang mengantar dipanggil ke depan pintu. Waktu sampai giliran delegasi Indonesia, berserulah si petugas: “Delegation of China!”. Karuan saja Haji Agus Salim naik pitam.  “Ya Syaikh! Indonesia. Musy China!” (Hai Tuan. Indonesia. Bukan Cina!). Apa mau dikata. Rupanya baju teluk belanga dan kopiah hitam kami dikira pakaian dan songkok Cina!

Sekali waktu delegasi Indonesia mengadakan perjamuan untuk Syaikh Al-Azhar. Perjamuan itu diselenggarakan di salah satu restoran di Kairo, dan ketika acara berakhir, para pelayan lantas berkumpul sambil menyerukan: “Litahyal Hindi!” (Hidup India!).

Dengan diantar Abdul Mun’im, delegasi RI menghadap Raja Farouk di Istana Qasr Abidin. Dengan ramah ia menerima kami dan menyatakan bahwa “karena karang persaudaraan Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indoesia dan mengakui kedaulatan negara itu.” Ia mengemukakan pula bahwa dirinya akan selalu mendukung perjuangan kemerdekaan, apalagi jika rakyatnya beragama Islam seperti yang dilakukannya terhadap Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Begitu juga, Mesir terus memperjuangkan nasib rakyat Palestina.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan Mesir, terjadilah hal yang cukup penting, yang membuktikan ucapan Raja Farouk di atas, yaitu pemberian suaka politik kepada pejuang Maroko, Amir Abdulkarim Al Khattabi yang bergelar Pahlawan Rifkabilen.

Pertemuan dengan Raja Farouk mengesankan sekali. Ingin saya kemukakan bahwa lepas dari masalah kehidupan pribadinya yang banyak dikecam, Farouk termasuk yang paling berjasa dalam masalah pengakuan kedaulatan. Meskipun kita tidak boleh melupakan jasa tokoh-tokoh Mesir lainnya seperti Sekjen Liga Arab Azzam Pasha, Dr. Salahuddin Bey, begitu pula Nahasy Pasha yang menjabat sebagai pimpinan partai oposisi Wafd. Dukungan dari kelompok oposisi ini sangat menguntungkan, karena itu tidak akan timbul masalah di Parlemen maupun Kabinet dalam mengambil keputusan tentang tentang pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia.

Yang agak menyulitkan dalam acara menghadap raja adalah soal pakaian. Anggota-anggota delegasi RI tidak memiliki pakaian resmi jas panjang, tetapi Haji Agus Salim dapat mengenakan pakaian Teluk Belanga. Rasjidi siap memakai blangkon-surjan. Akhirnya dicoba mencari persewaan jas panjang dari kostum milik rombongan sandiwara, tetapi ukuran badan saya dan Dr. Pamuntjak terlalu kecil untuk jas-jas yang ada sehingga akhirnya diberikan dispensasi kepada kami untuk menghadap dengan jas basa. Kepala rumah tangga istana hanya bisa geleng-geleng kepala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement