Jumat 10 Jul 2020 08:21 WIB
Islam

Missi Diplomatik RI, Persaudaraan Islam, Pejoratif Kadrun

Arti persaudaraan Islam dan jasa bangsa Arab di awal kemerdekaan.

Agus Salim ketika di Mesir menjalankan misi diploamatik pengakuan kedauatan
Foto:

TINGGAL selama tiga bulan di Mesir bukan hal yang mudah. Ingatan akan keluarga di rumah, makanan yang kadang-kadang kurang cocok, dan waktu yang terasa kosong, membuat orang mudah menjadi bosan. Masyarakat pun sudah mulai kehilangan interes kepada delegasi. Oleh karena  itu saya mencoba untuk “keluyuran” lagi ke kantor-kantor harian dan majalah sekadar untuk mengobrol.

Suatu hari Abdul Mun’im datang ke hotel sambil senyum-senyum. “Memang orang Indonesia ada-ada saja,” katanya. Ternyata ada berita kecil di majalah Rose el Yusuf, suatu majalah politik yang terkemuka di Kairo tentang masalah wanita di Mesir yang sedikit membicarakan delegasi RI.

AR Baswedan, Kakek Gubernur DKI Jakarta yang Ternyata Berjasa ...

Memang, sehari sebelumnya saya mampir ke kantor redaksi majalah Rose el Yusuf.

Redaktur majalah ini bertanya dengan nada senda gurau tentang apakah di Indonesia ada trem listrik, bioskop, dan lain-lain. Menyambung gurauannya, saya katakan saja bahwa di Indonesia tidak ada bioskop dan sebagainya, tetapi Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dipunyai Mesir. “Apa itu/” tanyanya. Saya jawab, “Menteri Sosial yang wanita.”

Dia bertanya lagi, agak kaget, “Wanita jadi menteri?”. Sang redaktur seakan-akan tidak percaya. “Memang betul,” begitu jawab saya, dan kemudian saya ceritakan tentang Maria Ulfah (kemudian dikenal sebagai Ny. Maria Ulfah Soebadio) yang menjadi Menteri Sosial. Dia terheran-heran.

Itulah sebab musabab munculnya berita tentang Indonesia di majalah tersebut yang pasti mempunyai effek besar  terhadap pandangan kalangan politik Mesir terhadap Indonesia, mengingat kedudukan majalah itu di sana.

Selain disergap rasa bosan, Delegasi juga amat gelisah, karena menurut monitoring yang dilakukan oleh Saudara Salim Al-Rasyidi (kelak Dr. Salim Al-Rasyidi, dosen di Universitas Islam Bandung) yang kita tugaskan untuk setiap hari memonitoring siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dalam bahasa Arab, situasi di Tanah Air menjadi amat genting berhubung bahwa Komisi Jenderal Belanda menyampaikan Nota Ultimatif yang harus dijawab oleh RI dalam waktu 14 hari.

Nota Ultimatif itu berisi lima pasal yang antara lain membentuk bersama suatu Pemerintah Peralihan (interim) dan menyelenggarakan bersama ketertiban dan keamanan di seluruh Indonesia (gendarmerie bersama). Sedang pengakuan resmi atas kedaulatan RI dari pihak Pemerintah Mesir belum terlaksana.

Ultimatum Belanda itu oleh Pemerintah Sjahrir dijawab pada tanggal 8 Juni (dua hari sebelum penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia) yang antara lain “setuju” membentuk Pemerintahan Peralihan yang mempunyai kewajiban mempersiapkan penyerahan kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Federal Nasional, dengan selama masa peralihan itu kedudukan de facto Republik tidak dikurangi.

Jawaban atas ultimatum Belanda itu telah menyebabkan jatuhnya Kabinet Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947.

Situasi gawat di Tanah Air tadi terutama seruan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk bersiap-siap menghadapi ancaman Belanda, itulah yang menyebabkan Ketua Delegasi Pak Salim memutuskan segera setelah terlaksana penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia, saya sebagai anggota delegasi (yang menjabat Menteri Muda Penerangan) perlu segera kembali ke Tanah Air. Sebab selama delegasi di Mesir tidak dapat berkorespondensi dengan Pemerintah RI di Yogyakarta maupun di Jakarta, karena korespondensi itu melalui pos yang tentu diketahui pihak Belanda.

Sebaliknya pihak Belanda di Belanda maupun Gubernur Jenderal van Mook di Batavia pasti mendapat informasi cukup mendetail tentang segala tindakan delegasi yang dilaporkan oleh duta besarnya di Kairo. Maka tiada jalan lain delegasi memutuskan perlu segera pulangnya saya ke Tanah Air untuk menyampaikan naskah perjanjian terutama laporan lengkap tentang situasi dan semangat di Mesir (baca: Liga Arab) yang mendukung perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya.

Jadi apa saja yang dialami oleh delegasi selama lebih kurang tiga bulan di Kairo nantinya akan dijelaskan kepada Presiden maupun Pemerintah RI. Dan ini nantinya  dijelaskan dengan lisan agar dengan begitu semangat bertahan dari pihak Republik terhadap ultimatum Belanda tidak berkurang. Ini karena seluruh Timur Tengah pasti membela RI menghadapi ancaman Belanda. Maka seminggu kemudian (karena menanti adanya kapal terbang) yaitu pada tanggal 18 Juni, bertolaklah saya meninggalkan Kairo menuju Singapura.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement