Sabtu 04 Jul 2020 10:14 WIB
Islam

Syair Sunur: Rindu-Dendam Seorang Ulama Minangkabau Abad 19

Syair Sunur: Tentng duka dan Rindu-Dendam Seorang Ulama Melayu -Minangkabau Abad 19

Kaum perempuan dan anak-anak di Minangkabau tahun 1880.
Foto:

Transliterasi SSN yang disajikan disini didasarkan atas Salinan-H (naskah Schoeman V.41) yang tersimpan di Staatsbibliotheek Preuischer Kulturbesitz Berlin. Salinan-H ini paling lengkap (tak ada bait yang rumpang dan tulisannya cukup jelas dan dapat dibaca). Seperti tertera dalam kolofonnya, Salinan-H ini disalin oleh seorang bernama Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab. Sangat mungkin Salinan-H ini disalinnya atas suruhan seorang putih (Belanda?) karena ada kata-kata berbahasa Belanda di kolofonnya. Penyalinannya berhasil diselesaikan pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266 te [di] Padang atau bertepatan dengan 13 April 1850. Jadi, salinan ini rupanya cukup tua, diperkirakan tidak lama setelah naskah aslinya selesai dikarang oleh Syekh Daud di Trumon.

Berikut ini transliterasi Salinan-H. Tanda menunjukkan bahwa kata-kata yang mengikutinya sudah diubah oleh transliterator dan telah disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Nomor dalam tanda kurung merujuk kepada halaman buku dalam naskah aslinya. Nomor pada akhir setiap bait adalah tambahan transliterator sendiri. Begitu juga halnya dengan cetak tebal dan cetak miring. Gunanya hanya untuk memberikan penekanan saja. Tanda / dalam bait menunjukkan pergantian larik. Unsur larik yang digarisbawahi menunjukkan pengaruh Bahasa Minangkabau lisan dalam syair ini (sebab pengarangnya adalah orang Minangkabau). Dari segi rima akhir, pengaruh itu sangat terlihat pada bait 42. Saya mengucapkan selamat menikmati (khususnya kepada budayawan kita Bagindo Fahmi, putra Sunur yang rumah rang gaek-nya di Bandar Sapuluh/Koto Rajo hanya berjarak sebatang rokok dari rumah rang gaek Syekh Daud di Koto Gadis). Semoga air mata Tuan tidak terbuang setelah membaca syair ini. Jika terbuang juga, misalkan mayat turun di jenjang.

Syair Sunur

(51) Inilah nazam dagang yang syukur / kepada tolan di kampung Sunur / bidal sekapur sirih yang layur / pembuka kabar permulaan tutur (1)

(52) Lamalah tuan dagang tinggalkan / habislah tahun baganti zaman / satupun tidak dagang kirimkan / dikarang surat kaganti badan (2).

Jikalau adat orang yang lain / ada kiriman baju dan kain / akan sahabat lawan bermain / supaya terbuka hati yang rahim (3).

Di dagang tidak katando hayat / hanyalah kertas berisi dawat / dalamnya sembah fadhilal hajat / serta salam doa selamat (4).

Pikirlah dagang suatu malam / diambil kertas, dawat, dan kalam / disuratkan sembah serta salam / memohonkan ampun ke bawah Kidam (5).

Sungguhpun surat dagang kirimkan / umpama ganti nyawa dan badan / dagang bercinta surat sampaikan / sepanjang tahun segenap bulan (6).

Wahai sahabat dengarkan kata / kaum kerabat semuanya rata / sungguhpun jauh tuan di mata / di dalam mimpi kupandang nyata (7).

Baru tapajam mataku tidur / rasa di dalam negeri Sunur / tolan yang ada lawan bertutur / sukalah hati menerima syukur (8).

Sudah terjaga mata memandang / kiranya badan terbaring sorang / bukan di Sunur hanya berdagang / tolan yang tadi dipandang hilang (9).

Siapa tuan yang kasih sayang / mau menanya dagang terbuang/

(53) sambutlah surat sudah terlayang / lihat kabarnya disana terang (10).

Di dalam surat ada alamat / mengatakan dagang lagi ada hayat / serta sehat dalam selamat / di negeri Tarumunnamanya tempat (11).

Siapa tuan menaruh iba / mau melihat dagang yang papa / tuan disini dagang disana / di dalam surat bertemu mata (12).

Aku suratkan dengan ujung kalam / atasnya kertas dawat yang hitam / siapa tuan yang rindu dendam / tempat teringat siang dan malam (13).

Dengan ujung kalam aku menyurat / boleh katanda masa teringat / siapa yang rindu tolan sahabat / lihatlah bekasnya dagang yang larat (14).

Wahai tuan yang kasih sayang / apalah nasib dagang seorang / untung nan tidak bagai di orang / dari mula awal sampai sekarang (15)

Di orang untung umpama nuri / rupa pun baik dengan biapari / dalam tahta sepanjang hari / apa yang hajat datang sendiri (16).

Di dagang untung bagai sisagan / di dalam sarab sepanjang hutan / kurang mencari kuranglah makan / sepanjang tahun segenap bulan (17).

Di orang untung umpama tiung / dalam haribaan bunda mengandung / jikalau sakit bunda mendukung / pada masa panas dikembang payung (18).

(54) Di dagang untung bagai barabah / dalam ilalang tuhur dan basah / sakit dan senang itulah rumah / begitu nasib takdir Allah (19).

Di orang untung umpama balam / di dalam sangkar podi manikam / di dagang untung bagai anak ayam / dalam pelimbahan siang dan malam (20).

Di orang untung umpama elang / menjadi raja di awang-awang / di dagang untung si pipit pinang / dua sejoli kemana terbang (21).

Di orang untung umpama bayan / dalam sangkar keramat intan / di dagang untung si pungguk rawan / mabuk bercinta rindukan bulan (22).

Di orang nasib umpama merak / rupanya baik akal pun bijak / di dagang nasib upama cecak / kebencian orang guna pun tidak (23).

Di orang ada ibu dan bapa / akan pembujuk hati yang duka / di dagang yatim, miskin, dan papa / segenap negeri benci belaka (24).

Jikalau ada ayah dan bunda / sukalah dagang jadi garuda / terbang membubung atas udara / ke negeri Sunur menjelang ayahanda (25)

Di orang untung Bunga Cempaga / rupanya baik putra dewangga/ siang dan malam atas kepala / dalam junjungan ayah dan bunda (26).

Di dagang untung bunga durian / jatuh ke bumi masa penghujan / (55) menjadi luluk sepanjang jalan / siang dan malam jadi jejakan (27).

Sanak saudara ada di orang / boleh menolong pagi dan petang / dagang nan bagai pinang sebatang / kiri dan kanan tidak bercabang (28).

Di orang ada dalam kaum / umpama betung rampak serumpun / kiri dan kanan banyak berhimpun / segenap bulan sepanjang tahun (29).

Di dagang tidak ada kerabat / akan menjadi lawan sahabat / umpama nyiur sebatang bulat / pikir di hati menjadi larat (30).

Di orang nasib bagai durian / batangnya rampak, daun, dan dahan / di dagang nasib sebatang bamban / masa terbuang di dalam hutan (31).

Di orang ada rumah dan tangga / tempat bermain bersuka2 / di dagang yatim, hina, dan papa / segenap rumah tempat suaka (32).

Sudah begitu takdir Allah / mula sejengkal tinggi di tanah / kami bertiga suatu ayah / turun serumah naik serumah (33).

Untung di Allah sudah begitu / atas kepala dagang piatu / kami bertiga ibu pun satu / ketiganya hanyut ke Bandar Satu (34).

Di orang nasib bagai kepundung / buahnya manis makanan burung / di dagang nasib buah galapung / hanyut di sungai terapung2 (35).

(56) Di orang untung umpama duku / manisnya sampai ke ujung kuku / di dagang pahit bagai mengkudu/ biarlah hilang jangan meragu (36).

Wahai tuan yang biaperi / dagang katakan nasib sendiri / anak ayam hilang ada bacari / dagang terbuang tiap negeri (37).

Wahai tuan yang kasih sayang / dengarkan kabar dagang terbuang / jauh di mata di hati hilang / baiklah mati sebelum gadang (38).

Tidak kerabat banyak di orang / tetapi ada emas di pinggang / barang kemana pergi berdagang / adalah orang menaruh sayang (39).

Dagangku ini tidak seperti / dari mula kecil bunda lah mati / emas pun tidak di dalam peti / semuanya orang menaruh benci (40).

Wahai sahabat handai dan tolan / dagang yang yatim tuan sadarkan / tidaklah jadi tuan harapkan / sudah terbuang dalam lautan (41).

Tuan dengarkan kabar yang elok / dagang diambil kabuah ratap / tidaklah boleh dagang diharap / umpama kambing lepas ke sesap (42)

Siapa tuan yang kasih sayang / memberi nasi dagang terbuang / sesuap pagi sesuap petang / minta ridakan sampai sekarang (43).

Sudahlah kabar kepada tolan / sembah dan salam habis disinan /

(57) kepada yang tua sembah haluan / yang muda salam dagang kirimkan (44).

Suatu lagi nazam ditambah / kepada ananda Umi Salamah / belahan nyawa buah hati ayah / di negeri Sunur darah tertumpah (45).

Wahai ananda Umi Salamah / dengarkan, Sayang, pitaruh ayah / taat ibadat kepada Allah / iman di dada jangan berubah (46).

Sembahyang, Sayang, jangan berhenti / dari mula hidup sampai kan mati / di akhirat, Sayang, ayahanda menanti / di Padang Mahsyar di pangkal Titi (47).

Jikalau ada umurku panjang / niatku bulat tidak bercabang / hendak segera kembali pulang / melihat anak sibiran tulang (48).

Jikalau sampai bilang umurku / habislah daya dengan upayaku / di akhirat, Anak, kita bertemu / di dalam Jannah sorga Tuhanku (49).

Wahai Anak hendaklah syukur / masuk termimpi masaku tidur / siang di Tarumun malam di Sunur / rangkai hatiku rasakan hancur (50).

Tersentaklah ayah pada tengah malam / bulan pun terang cuaca alam / tampaklah gunung jeram-menjeram / hati yang rindu remuk di dalam (51).

Bangunlah ayah daripada tidur / bangkit sekali duduk terpekur / terdengar ombak berdebur2 / tidaklah obah rasa di Sunur (52).

(58) Ayam berkokok hampirlah siang / orang pun sunyi angin pun tenang / berdesir ombak di atas karang / bunyi menyeru mahimbau pulang (53).

Jikalau ayahanda menjadi burung / sekarang itu terbang membubung / laut baharullah ayahanda arung / biarlah hanyut menjadi apung (54)

Jikalau ayahanda menjadi bayan / lengkap jo sayap kedua tangan / ayahanda terbang menyisi awan / menjelang Sunur kampung halaman (55).

Jikalau ayahanda menjadi elang / sekarang itu jua terbang / malam pun tidak dinanti siang / minta sampaikan masa sekarang (56).

Begitu rasanya di hati ayah / siang dan malam tidak berubah / tetapi belum takdir Allah / habislah daya upaya sudah (57).

Inilah surat dagang yang sangsai / sambutlah, tuan, manakala sampai / suruh bacakan barang yang pandai / ganti bertutur berandai2 (58).

Siapa tuan menaruh santun / sambutlah surat dari Tarumun / kaganti senda umpama pantun / jikalau salah beribu ampun (59).

Wahai sahabat kecil dan besar / Suratku ini minta didengar / air mata tuan kalau keluar / ganti meratap mayat terhantar (60).

Siapa tuan yang kasih sayang / mendengar kabar berita dagang /

(59) air mata tuan kalau terbuang / misalkan mayat turun di jenjang (61).

Wahai ananda Umi Salamah / hendak dengarkan surat bermadah / air mata anak jatuh ke tanah / niatkan, Sayang, meratapi ayah (62).

Tamatlah Syair Mekah [dan Madinah dan Syair Sunur] pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266, Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab, te Padang den 13 April 1850.

-------------

*DR Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement