REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanteb al Azhari, Banyumas.
Ada kalangan muslim modern yang umumnya berkesempatan mendapatkan pendidikan Barat cukup tinggi dan ada kalangan santri yang lebih pada bermodal pendidikan pesantren. Pembelahan identitas inilah yang kemudian muncul mengemuka ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi.
Catatan Kiai Saifuddin Zuhri, KH Wahid Hasyim dalam pidato di Konferensi dakwah di Magelang tahun 1951, sehubungan keputusan sikap Masyumi dalam menerima perjanjian San Fransisco (perjanjian perdamaian Indonesia-Jepang) yang menuai sikap pro dan kontra.
Kiai Wahid Hasyim kala itu menyampaikan, “Dalam kalangan umat islam ada dua macam golongan pemimpin. Ada golongan pemimpin politik yang memakai merek atau cap islam, mereka pada umumnya terdiri dari kaum cerdik pandai yang mendapat pendidikan Barat. Golongan kedua dari kalangan ahli agama yang betul-betul menguasai ilmu agama Islam yang sangat luas yang disebut golongan ulama. Mereka ini punya pengaruh amat besar dalam masyarakat dan mempunyai kedudukan sangat terhormat”.
Selanjutnya dikatakan oleh Kiai Wahid Hasyim, pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang, dalam kedua kekuasaan itu mereka tahu betul harga kedudukan ulama. Kedua kekuasaan tersebut menjadikan ulama sebagai alat untuk mempertahankan dan memperkokoh kedudukan mereka. Jepang memasukkan ulama sebagai alat strategis dalam mencapai kemenangan akhir perang Asia Timur Raya melawan sekutu.
Ulama dijadikan senjata perang disamping beras, besi tua, minyak dan amunisi. Kalau orang asing tahu benar harga para ulama meskipun salah penggunaanya, amat disesalkan bahwa bangsa sendiri, terutama golongan yang menamakan dirinya “Pemimpin Islam” tidak menyadari kedudukan ulama dalam masyarakat kecuali untuk diperalat dan dijadikan semacam kuda kepang. Ulama dijadikan pijakan untuk mencapai kedudukan politik, popularitas dan mencari pengaruh.
“Dan dalam hubungan ini Nahdatul Ulama telah banyak ‘meminjamkan’para ulamanya untuk diperlakukan menjadi alat. Saya banyak mendapat laporan dari daerah-daerah, bahwa para ulama bukan saja dibatasi ruang geraknya, bahkan lebih dari itu, para ulama harus mau dipimpin oleh orang-orang yang dangkal pengetahuan (agama)nya meskipun mempunyai merek ‘pemimpin Islam’. Inilah tugas para mubaligh NU untuk mengembalikan wibawa ulama sebaga pemimpin umat dan warasatulanbiya,'' tegas KH Wahid Hasyim.
Beberapa kata yang kemudian “lestari” menjadi ingatan persoalan renggangnya hubungan kalangan NU dan Masyumi, atau katakanlah NU dan kelompok luar NU, diantaranya istilah kuda kepang, pengertian ulama, pemimpin islam atau merek pemimpin islam, termasuk nanti berikut berbagai joke yang menyertai berikutnya, tentang perebutan mesjid dan pengimaman. “Tidak cuma masjid, pengimaman dan mimbar, bahkan bedug, kentong dan sandal-sandalnya hendak direbut,'' begitu salah satu guruan yang muncuk saat itu.
Istilah tersebut sekarang merujuk pada dikotomi 'radikal versus noderat atau toleran. Selain itu masih ada problem pemahaman syarat bersatunya umat. Bagi kalangan Nahdiyin, proses menjadi Islam adalah tidak membeda-bedakan tingkat afiliasi komitmen keislaman seseorang. Artinya seseorang mau shalat saja itu sudah bagus. Hal yang terpenting harus mau mengaji, dengan mengaji kepada guru kualitas ulamanya diakui (Sanad).
Hal terpenting lainnya adalah mendakwahkan Islam seluas-luasnya, sekalipun belum sempurna dalam pengamalan. Terhadap orang yang belum menjalankan ajaran islam secara sepenuhnya, selama tidak memperlihatkan sikap menghina, atau melecehkan ajaran Islam, persoalan kesholehan pribadi sangat nafsi-nafsi. Bukan ukuran keloyalan atau tidaknya pada ajaran islam.
Bagi kalangan 'pemurnian' Islam, tidaklah mungkin umat islam itu bersatu jika tidak kembali pada pemahaman Islam sebagaimana Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam praktiknya adalah bagaimana mengamalkan Islam sebagaimana sahabat dan atau ahlul Madinah. Termasuk paling penting adalah aspek tauhid untuk tidak menpersekutukan dengan apapun.
Bagi kalangan 'pembaharu Islam' yang mencoba meramu antara aspek pemurnian dan modernitas Barat, bahwa pengertiannya adalah kemajuan islam. Bahwa islam akan maju dan bersatu jika mereka mau kembali kepada Al-Quran dan sunnah, mengambil sikap Ijtihad dan menerima rasionalitas barat dalam hal yang baik-baik. Termasuk dalam hal rasionalitas barat adalah aspek teknologi dan ilmu manajemen.
Alhasil, pengertian ulama bagi kalangan pembaru Islam idak hanya para ahli fiqh, bahkan lebih luas. Sebab para ahli ilmu juga menyangkut ilmu ilmu umum. sebab tidak mungkin jika harus hanya menyandarkan pada keahlian satu ulama saja (misal ahli fiqh). Soal ini pun sebenarnya warisan lama yang terpenting setelah khilafah Usmani runtuh. Sebab mereka percaya bukanlah menyatukan semua kekuatan Islam —terutama dalam politik— akan tetapi mengajak umat islam mencapai ukuran ukuran kemajuan yang dapat menjadikan mereka berperan mengubah peradaban.