REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Intelektual Muslim di Indonesia mengkhawatirkan perkembangan Islamofobia di negara-negara Barat. Pandangan ini disampaikan menanggapi hasil riset lembaga think tank Turki, SETA, yang dipublikasikan pada Ahad lalu.
Dalam "Laporan Islamofobia Eropa 2019" disebutkan bahwa Muslim yang tinggal di negara-negara Eropa cenderung mendapat perlakuan diskriminatif. Masyarakat Eropa, menurut laporan ini, makin kewalahan oleh wacana Islamofobia.
Laporan itu juga menunjukkan pemerintah dan media arus utama berpartisipasi mereproduksi wacana Islamofobia yang membahayakan hak-hak dasar jutaan warga Eropa. Pada 2019 ada kenaikan jumlah insiden kebencian pada Muslim dan bangkitnya ketakutan pada orang asing.
"Pemilihan umum di Parlemen Eropa dan beberapa parlemen nasional memperlihatkan peningkatan popularitas partai-partai ultranasionalis di beberapa negara." Hal tersebut tertulis dalam laporan tersebut.
Menanggapi laporan tersebut, Ahmad Suaedy, pengajar pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), mengatakan, Islamofobia mengalami pasang surut di negara-negara Barat. "Sekarang Islamofobia bukan saja persaingan di lapangan pekerjaan, tapi juga dimanifestasikan dalam kekerasan, penyerangan fisik, dan terorisme," ujar dia saat dihubungi Anadolu Agency, Senin (22/6).
Laporan tersebut juga mengonfirmasi bahwa "orang-orang dari etnis minoritas atau ras di Uni Eropa mengalami risiko kesulitan ekonomi yang lebih tinggi, perumahan berkualitas buruk, segregasi perumahan, pengangguran, dan serangan".
Laporan Islamofobia itu diterbitkan setiap tahun sejak 2015 guna menyelidiki secara terperinci dinamika yang mendasari, yang secara langsung atau tidak langsung memunculkan rasisme anti-Muslim di Eropa. Menurut Suaedy, Islamofobia juga hadir dengan kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di Amerika Serikat.
Selain itu, Islamofobia muncul di Australia setelah warga negaranya menjadi pelaku penembakan 51 jamaah sholat Jumat di dua masjid New Zealand. "Ada penelitian ‘Far right-wing violence and terrorism’, yang mengungkap kekerasan dan terorisme lebih banyak dilakukan oleh mereka ketimbang orang Islam dan pendatang."
Menurut Suaedy, kebangkitan Islamofobia adalah gejala populisme oligarki. Fenomena seperti ini merupakan respons kebangkitan gerakan rakyat bawah seperti saat terpilihnya Presiden Obama menjadi sentimen kulit putih kaya raya pada Trump.
Gerakan seperti ini, menurut Suaedy, juga muncul di India dengan keluarnya UU kewarganegaraan yang mendiskriminasikan Muslim oleh Hindu. Di Myanmar juga terjadi diskriminasi etnis Rohingya oleh Budhis.
"Jadi, ini bersifat global. Tapi, masing-masing wilayah punya isu yang spesifik," ujar dia.