Rabu 24 Jun 2020 04:31 WIB
Islam

Persatuan NU: Imaji Meriam, dan Kuda Kepang

Persatuan umat Islam dan perpecahan NU-Masyumi

Kampanye Partai NU dalam Pemilu 1971.
Foto:

D iantara kalangan pemurnian dan  pembaharu  Islam terdapat  kalangan sebut saja  “Islam Kaafah”.  Bahwa  Islam adalah   Ad-Din wa Daulah.  Islam adalah   urusan  agama  dan negara. Artinya  pentingnya  kembali menciptakan suatu tatanan  sosial politik islam yang berfungsi  mengarahkan dan  melindungi  agar rajaran Islam dapat dilakukan secara sempurna. Implementasi  paling  dekat adalah  dengan aspek  memasukkan hukum hukum islam  ataupun  nilai  nilai islam dalam  perundangan,   dan  aspek yang paling ideal  adalah  berlakunya  kembali sistem   khilafah.

Uraiaan  tentang  bagaimana  umat islam (baca: kelompok-kelompok  islam)  memandang   ajaran  dan  lingkungannya  sangat bervariasi, termasuk  hal yang  paling sering dipertentangkan sesungguhnya adalah persoalan “itiqod” atau  niat  hati  orang lain  dan  strategi  dakwah yang  saling berlainan.

Dalam soal ini ada kisah dari Kyai  Saifuddin Zuhri  tentang perbedaan pandangan diantara tokoh  tokoh  NU  dan Masyumi. Ataupun  perbedaan di  dalam  kalangan NU  itu sendiri  dalam  bersikap.

Akan halnya  dengan  sebutan  “Kuda Kepang”,  Kyai  Wahab Chasbullah sebagai  dirijen  NU,  atau  orang yang mengawali  keberadaan NU sejak  adaya  Nahdhatul wathan, Taswirul  Afkar  dan NahdatutTujar  di Surabaya, Kyai  Wahab  inilah  sesungguhnya  yang meletakkan garis garis besar  perkembangan NU  dari lahir hingga  memasuki  masa Orde  Baru. Sehingga nanti, tercatat, NU  masa Orde Baru  mengalami stagnasi  hingga  muncul konsep kembali  ke  khittah NU tahun 1984. Terlebih lagi setelah  beberapa   pemimpin NU yang  utama (KH Hasyim As’ary  wafat 1947,  KH  Wahid  Hasyim Wafat 1953, kemudian  KH Wahab Chasbullah 1971  dan  terakhir KH Bisri Syamsuri  1980).

NU  pun pernah  mengalami  gonjang ganjing  perpecahan, yakni misalnya ada kubu  Cipete  (Idham Khalid)  dan  kubu  Situbondo (KH  As’ad Syamsul Arifin)  dan perbedaan ini berhasil di tengahi  oleh   KH Ali Maksum  (Krapyak). Saat itu  dalam pasungan PPP, secara politik  NU  mengalami  pembonsaian politik. Sehingga  lahirlah  konsep mengembalikan NU sebagai  organisasi  sosial keagamaan dengan konseptor dan penggeraknya  adalah putra dari  KH Saifuddin Zuhri, yaitu  dr  Fahmi  Saifuddin.

Langkah kembali ke-khittah  tersebut melahirkan  tokoh Abdurahman Wahid  dan beberapa  tokoh lain.  Abdurahman Wahid  sempat menduduki jabatan sebagai Presiden hasil Pemilu 1999.  Itulah  capaian politik  tertinggi  yang pernah  diraih  NU sebagai  kekuatan  organisasi sosial  politik dan keagamaan.

Terkait  Hubungan NU- Masyumi, masih  dalam catatan  Kyai  Saifuddin  dalam   forum   Magelang  tersebut,   menerangkan bahwa NU  itu betul-betul meriam, bukan  batang  kelapa. Amat disayangkan, banyak  pemimpin NU  tidak  menyadari  kekuatan  sendiri  karena  menjadi  korban golongan lain  yang ingin  menjadikan  NU sebagai  kuda tunggangan  di atas  dalil  “demi  persatuan.

“Kita  ikhlas  berkorban  untuk  persatuan  yang jujur. Tetapi  kita  menolak ‘persatuan’  antara  kusir  dan kuda. Sang kusir  Cuma duduk ‘mengangkang’  padahal  sang  kuda  berlari-lari  menarik beban  sambil  menerima  cambukan-cambukan!,'' ujar Kiai Siafuddin Zuhr

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement