D iantara kalangan pemurnian dan pembaharu Islam terdapat kalangan sebut saja “Islam Kaafah”. Bahwa Islam adalah Ad-Din wa Daulah. Islam adalah urusan agama dan negara. Artinya pentingnya kembali menciptakan suatu tatanan sosial politik islam yang berfungsi mengarahkan dan melindungi agar rajaran Islam dapat dilakukan secara sempurna. Implementasi paling dekat adalah dengan aspek memasukkan hukum hukum islam ataupun nilai nilai islam dalam perundangan, dan aspek yang paling ideal adalah berlakunya kembali sistem khilafah.
Uraiaan tentang bagaimana umat islam (baca: kelompok-kelompok islam) memandang ajaran dan lingkungannya sangat bervariasi, termasuk hal yang paling sering dipertentangkan sesungguhnya adalah persoalan “itiqod” atau niat hati orang lain dan strategi dakwah yang saling berlainan.
Dalam soal ini ada kisah dari Kyai Saifuddin Zuhri tentang perbedaan pandangan diantara tokoh tokoh NU dan Masyumi. Ataupun perbedaan di dalam kalangan NU itu sendiri dalam bersikap.
Akan halnya dengan sebutan “Kuda Kepang”, Kyai Wahab Chasbullah sebagai dirijen NU, atau orang yang mengawali keberadaan NU sejak adaya Nahdhatul wathan, Taswirul Afkar dan NahdatutTujar di Surabaya, Kyai Wahab inilah sesungguhnya yang meletakkan garis garis besar perkembangan NU dari lahir hingga memasuki masa Orde Baru. Sehingga nanti, tercatat, NU masa Orde Baru mengalami stagnasi hingga muncul konsep kembali ke khittah NU tahun 1984. Terlebih lagi setelah beberapa pemimpin NU yang utama (KH Hasyim As’ary wafat 1947, KH Wahid Hasyim Wafat 1953, kemudian KH Wahab Chasbullah 1971 dan terakhir KH Bisri Syamsuri 1980).
NU pun pernah mengalami gonjang ganjing perpecahan, yakni misalnya ada kubu Cipete (Idham Khalid) dan kubu Situbondo (KH As’ad Syamsul Arifin) dan perbedaan ini berhasil di tengahi oleh KH Ali Maksum (Krapyak). Saat itu dalam pasungan PPP, secara politik NU mengalami pembonsaian politik. Sehingga lahirlah konsep mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan konseptor dan penggeraknya adalah putra dari KH Saifuddin Zuhri, yaitu dr Fahmi Saifuddin.
Langkah kembali ke-khittah tersebut melahirkan tokoh Abdurahman Wahid dan beberapa tokoh lain. Abdurahman Wahid sempat menduduki jabatan sebagai Presiden hasil Pemilu 1999. Itulah capaian politik tertinggi yang pernah diraih NU sebagai kekuatan organisasi sosial politik dan keagamaan.
Terkait Hubungan NU- Masyumi, masih dalam catatan Kyai Saifuddin dalam forum Magelang tersebut, menerangkan bahwa NU itu betul-betul meriam, bukan batang kelapa. Amat disayangkan, banyak pemimpin NU tidak menyadari kekuatan sendiri karena menjadi korban golongan lain yang ingin menjadikan NU sebagai kuda tunggangan di atas dalil “demi persatuan.
“Kita ikhlas berkorban untuk persatuan yang jujur. Tetapi kita menolak ‘persatuan’ antara kusir dan kuda. Sang kusir Cuma duduk ‘mengangkang’ padahal sang kuda berlari-lari menarik beban sambil menerima cambukan-cambukan!,'' ujar Kiai Siafuddin Zuhr