REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan dari survei yang dilakukan pemerintah Norwegia baru-baru ini menyoroti tentang skeptisisme terhadap Islam di negara itu. Dalam survei berjudul Barometer Integrasi 2020 itu diungkapkan, bahwa sebagian besar populasi Norwegia skeptis (curiga) terhadap mereka yang menganut Islam. Survei tersebut ditugaskan oleh Direktorat Integrasi dan Keragaman Norwegia (IMDI).
Sebanyak 52 persen percaya bahwa nilai-nilai dalam Islam tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar masyarakat Norwegia. Sedangkan 56 persen berpikiran skeptis tentang gagasan memiliki menantu Muslim, dan 45 persen lainnya menyatakan skeptis tentang orang-orang yang beragama Islam secara umum.
Bahkan, lebih banyak yang skeptis terhadap orang-orang dengan keyakinan Muslim yang kuat, yakni sebesar 70 persen. Pada saat yang sama, banyak orang Norwegia yang skeptis terhadap orang-orang dengan keyakinan Kristen yang kuat (54 persen) daripada orang-orang dengan dengan keyakinan Muslim moderat (34 persen).
"Dengan demikian kita melihat bahwa skeptisisme tentang kepercayaan agama bukan hanya tentang agama-agama tertentu, tetapi juga tentang seberapa kuat keyakinan itu dirasakan,” demikian laporan dalam survei tersebut, dilansir di Sputnik International, Rabu (17/6).
Selain itu, laporan dari survei tersebut juga mengindikasikan bahwa lebih dari 80 persen orang Norwegia skeptis tentang orang yang mengenakan niqab (cadar), terlepas dari apakah itu digunakan di jalan, di tempat kerja, oleh seorang guru sekolah atau seorang polisi berseragam. Sementara sikap terhadap hijab, yang membiarkan wajah tetap terlihat (terbuka), disebut sebaliknya atau lebih akomodatif. Pasalnya, dua dari tiga bersikap netral atau positif.
Barometer ini juga mengungkapkan bahwa populasi Norwegia terbagi dalam masalah imigrasi. Sebagian besar lebih percaya bahwa imigrasi cukup baik untuk Norwegia daripada mereka yang berpikir itu miskin (40 persen versus 27 persen). Namun demikian, lebih banyak orang Norwegia yang juga percaya bahwa Norwegia harus menerima lebih sedikit imigran daripada meningkatkan imigrasi (43 persen versus 28 persen). Secara kebetulan, orang-orang Norwegia lebih suka menerima pengungsi daripada kelompok imigran lainnya, seperti reuni keluarga atau migran ekonomi.
Dalam survei itu disebutkan, hanya 20 persen orang Norwegia mengatakan bahwa imigrasi bekerja dengan sangat baik. Sementara secara keseluruhan 47 persen percaya bahwa imigrasi berjalan buruk. Antara 76 dan 79 persen orang Norwegia berpendapat bahwa tantangan imigrasi adalah karena upaya yang tidak memadai dari imigran itu sendiri.
Sikap terhadap imigrasi dan integrasi terkait dengan karakteristik responden lainnya. Misalnya, wanita, orang muda, dan orang-orang dengan pendidikan tinggi umumnya lebih positif tentang imigrasi daripada orang Norwegia yang merupakan pria, paruh baya dan berpendidikan rendah.
Populasi Norwegia tetap sangat homogen sampai akhir 1970-an. Etnis Norwegia membentuk 98 persen dari negara tersebut. Hingga sekarang, setelah beberapa dekade imigrasi massal, total pangsa imigran adalah sekitar 18 persen. Di antara kohort yang lebih muda, pangsa imigran sudah di atas 30 persen. Saat ini, kelompok populasi terbesar yang berasal dari luar Norwegia adalah Polandia, Swedia, Somalia, Lithuania, Pakistan, dan Irak.