REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai gencarnya penolakan publik seperti yang terakhir ditunjukan PP Muhammadiyah terhadap RUU Haluan Pancasila (HIP) harus menjadi pertimbangan matang para pihak yang terkait. Dan ini menjadi jelas bahwa resistensi terhadap RUU tersebut sudah begitu masif.
"Resistensi terhadap RUU ini sudah menjadi koletif dan sekarang. Dan pesan ini sudah sangat jelas bahwa Pancasila sebagai pandangan hidu bangsa jangan diotak atik lagi. Jangan malah di down grade. Sebab, keadaaan nanti bukan malah tambah bagus, tapi malah memburuk. Yang mendesak sekarang adalag bagaimana respons kita soal ekonomi, kemiskinan yang bertambah akibat pandemi ini. Bukan malah berdebat lagi soal Pancasila,'' kata Siti Zuhro, di Jakarta, Senin (15/6).
Selain itu, bila masyarakat Muslim banyak mengendus penolakan RUU HIP ini terkait isu membangkitkan kembali ajaran komunis juga merupakan hal wajar. Indikasi itu memang terlihat karena DPR tidak memasukkan Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI. Sementara, seluruh ketatapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila.
“RUU ini bisa dipahami sebagai RUU yang kental nuansa politiknya. Sebagai arena testing the water untuk menguji apakah ada resistensi atau tidak dari masyarakat,” ujarnya.
Menurut Siti, posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak perlu diotak-atik lagi. Pancasila merupakan norma paling tinggi dan dasar falsafah negara, sehingga perumusan Pancasila pada tingkat norma hukum menurunkan nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa.
" RUU HIP juga merendahkan posisi Pancasila. Sebab, penafsiran Pancasila secara autentik ada dalam pasal-pasal UUD 1945 yang telah disepakati bersama. Sementara, RUU HIP tidak memperhatikan norma dalam pasal 2 UUD 1945. Pancasila dalam draf RUU HIP hanya melihat dan merujuk pada Pancasila 1 Juni 1945. Jadi itu mendistorsi Pancasila dan mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang mewakili seluruh komponen bangsa yang disepakati dalam berbagai dokumen autentik kenegaraan yang tercatat hingga sekarang,” ucapnya.
Tak hanya itu, Siti Zuhro yang juga menjadi profesor LIPI dalam bidang riset mengatakan kasus penolakan masif dari RUU HIP tersebut bisa menjadikan pelajaran bagi para politisi dan anggota parlemen. Mereka harus bisa menimbang secara seksama perasaan yang ada di dalam benak rakyat. ''Jadi ke depan kasus serupa tak perlu diulangi lagi,'' ujarnya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan pernyataan pers tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/6). RUU HIP telah menimbulkan kontroversi dan mendapat penolakan dari kalangan masyarakat.
Seperti diketahui, dalam jumpa persnya siang ini, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyampaikan, PP Muhammadiyah telah mengkaji dengan seksama materi RUU HIP yang sekarang dalam proses pembahasan di DPR. Berdasarkan kajian tahap pertama tim PP Muhammadiyah, materi RUU HIP banyak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang, terutama UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"PP Muhammadiyah berpendapat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila tidak terlalau urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Mu'ti membacakan pernyataan pers PP Muhammadiyah.