REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nadjamuddin Ramly menanggapi pernyataan sikap 32 Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia terhadap pemerintah. Menurutnya pernyataan sikap tersebut bentuk kepedulian, perhatian dan tekad serius mereka untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona atau Covid-19.
"Kami memberikan apresiasi terhadap aspirasi yang berkembang dari hasil koordinasi Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia, Dewan Pimpinan MUI Pusat tidak bisa memberikan intervensi kepada mereka karena itu aspirasi mereka," kata Nadjamuddin kepada Republika, Jumat (8/5) malam.
Ia mengatakan, MUI di berbagai provinsi sudah berusaha semaksimal mungkin di lapangan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Tapi tiba-tiba menteri perhubungan mengubah kebijakan dan melonggarkan moda transportasi dalam semua matra baik darat, laut maupun udara.
Menurutnya, pelonggaran moda transportasi tersebut akan memperkeruh suasana di kala masyarakat sedang berusaha memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kalau pesawat-pesawat datang lagi ke ibu kota provinsi membawa orang-orang dari berbagai daerah, sementara mereka semua tidak bisa dipastikan bebas dari Covid-19. Mungkin saja ada orang yang sudah terjangkit Covid-19, tapi tanpa gejala (OTG) Covid-19.
"Sementara Dewan Pimpinan MUI Provinsi sudah memberlakukan lockdown di masjid-masjid, umat Islam tidak melaksanakan sholat Jumat, tarawih, dan shalat Idul Fitri, tapi tiba-tiba ada kebijakan melonggarkan moda transportasi," ujarnya.
Nadjamuddin menegaskan, Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia memberikan aspirasi karena mereka juga prihatin dan cemas dengan pandemi Covid-19. Mereka juga sudah berusaha maksimal untuk menjaga provinsinya masing-masing dari ancaman Covid-19, salah satunya dengan tidak melaksanakan sholat berjamaah di masjid-masjid.
"Ini (aspirasi Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia) sebagai bentuk kepedulian dan perhatian serta tekad sungguh-sungguh mereka untuk memutus mata rantai transmisi Covid-19," jelasnya.
Sebelumnya, 32 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi se-Indonesia menyampaikan pernyataan sikap kepada pemerintah Indonesia yang telah mengeluarkan kebijakan kontradiktif dengan peraturan pemerintah sendiri dan imbauan para tokoh agama. Salah satu aspirasi mereka, meminta dengan tegas kepada Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan kebijakan menteri perhubungan yang membuka dan melonggarkan moda transportasi dalam semua matra baik darat, laut maupun udara sebelum penyebaran dan penularan Covid-19 ini benar-benar dapat terkendali dan bisa menjamin tidak akan ada lagi penularan baru.
Sebelumnya, soal kebijakan melonggarkan moda transportasi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, menegaskan bukan berarti mudik diperbolehkan. Kebijakan tersebut hanya menjadi penjabaran atau turunan dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi selama masa mudik Idul Fitri tahun 1441 Hijriyah dalam rangka pencegahan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), bukan relaksasi.
“Artinya dimungkinkan semua moda angkutan, udara, kereta api, laut, dan bus untuk kembali beroperasi dengan catatan harus menaati protokol kesehatan,” kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (6/5).
Budi memastikan nantinya gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memberikan kriteria. Dia menjelaskan, khususnya kriteria bagi penumpang yang masuk dalam kategori bisa bepergian menggunakan transportasi umum.
“Nanti BNPB bersama Kementerian Kesehatan bisa menentukan dan itu bisa dilakukan,” ujar Budi.