REPUBLIKA.CO.ID, Suka atau tidak, kita memasuki Ramadhan 1441 H ini dengan pe nuh keprihatinan. Wabah Covid- 19 yang sudah melewati angka 7.000 kasus membuat kita harus berdiam diri di rumah. Kerinduan untuk shalat Tarawih berjamaah di masjid mesti kita redam demi menyelamatkan diri dan masyarakat sekitar. Bagi pencinta masjid, memang sakit tak terperi tak melangkahkan kaki saat suara azan tiba.
Ibadah puasa saat wabah menebalkan kesabaran kita. Imam al-Ghazali mengungkapkan salah satu hadis Rasulullah SAW mengenai puasa. "Puasa itu setengah kesabaran. 'Bagi mereka yang bersabar, sungguh Allah SWT menjanjikan gan jaran yang spesial. Sesungguhnya hanya orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa perhitungan.'" (QS az-Zumar-10).
Ujian pandemi pada bulan suci sebenarnya membuka kesempatan luas bagi setiap hamba untuk ber-takarub ilallah. Momentum di mana kita mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Pada bulan ini, pintu ampunan dibuka. Doa-doa pun diijabah. Imbalan pahala dilipatgandakan. Ma laikat rahmat bertebaran. Jangan siakan saat-saat istimewa bermesra dengan Rabb yang amat dekat. Bukankah Allah Ta'ala berfirman saat Nabi SAW ditanya oleh orang badui?
"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepa damu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (segala pe rintah) Ku dan hendaklah mereka beriman ke pada-Ku agar merea selalu berada dalam ke be naran. "(QS al-Baqarah ayat 186).
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini diturunkan setelah ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan ber munajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi SAW diam, tidak menjawab. Maka, Allah menurunkan firman-Nya tersebut.
Di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Abu Musa al-Asy'ari, dijelaskan mengenai kedekatan Allah Ta'ala kepada hamba-Nya. Saat itu, para sahabat bersama Rasulullah SAW dalam sa tu peperangan. Mereka kerap bertakbir dengan keras saat menaiki tanjakan, menuruni suatu lembah dan berada di tempat yang tinggi. "Lalu Nabi SAW mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Meli hat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Ya itu) 'la haula wala quwwata ilia billah' (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'."
Ayat ke-186 di dalam al-Baqarah itu muncul setelah Allah SWT membicarakan tentang kewa jiban berpuasa pada Ramadhan beserta waktu datangnya ibadah shiyam. Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengungkapkan, Allah SWT menegaskan kedekatan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, khususnya bagi mereka yang berpuasa. Kepada mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadhan, Allah menganjurkan mereka untuk mengajukan permohonan dan harapan kepada-Nya.
Quraish menjelaskan, Allah SWT meng isti lahkan 'ibadi dalam ayat tersebut yang bermak na hamba-hamba-Ku. Bentuk jamak dari kata 'Ibad atau biasa digunakan Alquran untuk me nunjuk kepada hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya. Kalaupun mereka penuh dosa, mereka sadar akan dosanya serta mengharap pengampunan dan rahmat-Nya. Kata ini berbe da dengan 'abid yang juga bentuk jamak 'abd. Perbedaannya, kata 'abid merujuk pada hambahamba Allah yang bergelimang dalam dosa.
Pemilihan kata 'ibad yang dinisbatkan ke pada Allah (Hamba-hamba-Ku) mengandung isyarat penanya dan pemohon adalah hamba-hamba- Nya yang taat lagi menyadari kesalahan.
Dalam ayat ini pun, Allah SWT menggunakan bentuk tunggal (Aku) sebanyak tujuh kali untuk menunjuk kepada Diri-Nya. Sesuatu yang di tunjuk itu hanya khusus dilakukan atau ditu jukan kepada Allah, bukan selain-Nya. Jikapun ada selain Dia, maka dianggap tidak ada karena perannya ketika itu sangat kecil. Itu sebabnya, mengapa perintah ibadah dan pemberian tobat selalu dilukiskan dalam bentuk tunggal. Ber beda, misalnya, jika Yang Maha Kuasa ditunjuk dalam bentuk jamak. Bentuk plural digunakan untuk menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah dalam sesuatu.
Kedekatan ini hanya terjadi manakala kita bertobat dan memohon kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Ribuan doa selayaknya kita mohonkan agar wabah ini tidak hanya segera berakhir. Kita berharap agar bisa belajar dan mendapat hikmah yang istimewa dari peristiwa ini. Wallahualam