REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty Internasional mengkritik keras pemerintah Sri Lanka karena mengharuskan semua jenazah korban Covid-19 dikremasi, termasuk umat Islam. Kebijakan seperti itu dinilai akan semakin memperparah ketegangan antaragama di negara yang berlokasi tepat di selatan India itu.
“Pada saat yang sulit ini, pihak berwenang seharusnya menyatukan masyarakat. Tidak memperdalam perpecahan di antara mereka," kata Direktur Amnesty International untuk Asia Selatan, Biraj Patnaik dalam siaran persnya, Jumat (3/4).
Berdasarkan catatan Amnesty, dua korban jiwa awal akibat Covid-19 di Sri Lanka adalah umat Islam. Namun pihak berwenang memaksa jenazah mereka dikremasi, alih-alih dikubur sebagaimana kehendak keluarga almarhum.
Muslim pertama yang meninggal di Sri Lanka akibat virus corona adalah warga Kota Negombo pada 31 Maret lalu. Pihak berwenang melarang prosesi penguburan dan menggantinya dengan prosesi kremasi meski diprotes kerabat almarhum, tokoh masyarakat, dan politikus Muslim.
Kematian kedua dalam komunitas Muslim terjadi pada Rabu (1 April) di National Institute of Infectious Diseases. Jenazahnya juga dikremasi sehari kemudian meskipun keluarga korban dan anggota komunitas Muslim berupaya melakukan pemakaman.
Untuk komunitas Muslim Sri Lanka, tulis Amnesty, penguburan jenazah adalah bagian wajib sesuai dengan tradisi Islam. Penganut Islam di Sri Lanka adalah minoritas lantaran hanya sembilan persen dari total populasi.
Patnaik mengatakan, ketegangan antaragama bisa semakin parah jika keluarga Muslim tetap tak diizinkan mengubur kerabatnya sesuai ajaran Islam. Terlebih, penguburan jenazah pasien Covid-19 tidaklah melanggar pedoman Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pedoman WHO memperbolehkan jenazah korban Covid-19 dikremasi ataupun dikuburkan. Kementerian Kesehatan Sri Lanka diketahui membuat protap penanganan jenazahnya sesuai dengan pedoman tersebut pada 27 Maret lalu.
Namun, empat hari berselang, Kementerian Kesehatan merevisi protap tersebut. Isinya berubah jadi mewajibkan semua jenazah korban Covid-19 dikremasi alias dibakar hingga menjadi abu.
Hingga kini, kata Patnaik, belum ada penjelasan memadai dan masuk akal dari Pemerintah Sri Lanka terkait perubahan protap tersebut. Hal ini menunjukkan perubahan itu tidak dibutuhkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari Covid-19.
Mengingat adanya sensitivitas agama dan budaya di negara itu, Amnesty pun mendesak pemerintah Sri Lanka memastikan dan menghormati ritual serta praktik keagamaan sesuai dengan pedoman internasional. Setiap perubahan pada protap haruslah melibatkan komunitas yang terkena dampak dengan cara konsultasi.
"Kerabat dari orang-orang yang telah meninggal karena Covid-19 harus dapat mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai dengan cara yang mereka inginkan, terutama di mana hal itu diizinkan pedoman internasional," kata Patnaik.