Pasang-surutnya kekuasaan Kesultanan Tidore mempengaruhi kehidupan yang terjadi di Papua. Kehadiran bangsa asing yang menjajah Maluku, seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda berpengaruh besar terhadap kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate. Kedudukan Kesultanan Tidore pada masa Sultan Saifuddin yang sebelumnya sejajar dengan Belanda, lama kelamaan mengalami masa surut.
Konflik internal dan suksesi kepemimpinan di Kesultanan Tidore ikut menyeret Belanda ke dalam pusaran konflik. Pergantian kepemimpinan di Kesultanan Tidore lambat laun melibatkan campur tangan VOC (Belanda). Kesultanan Tidore dan Ternate yang saling bertikai, memaksa keduanya bertekuk di bawah VOC dan menjadi vasal VOC. Hal ini berdampak pada pengaruh Kesultanan Tidore di Papua. Kesultanan Tidore mulai kehilangan pengaruhnya di Papua terutama sejak abad ke 18.
Kondisi Kesultanan Tidore yang lemah, membuat seorang Pangeran Kesultanan Tidore, yaitu Pangeran Nuku memberontak terhadap kekuasaan Tidore. Pangeran Nuku kemudian menjadi simbol perlawanan terhadap VOC yang bersekutu dengan Sultan Tidore serta Ternate.Perlawanan Pangeran Nuku yang anti Belanda, menggerogoti kekuasaan Belanda di Maluku. Pangeran Nuku tidak saja mampu memperoleh dukungan dari orang-orang di Tidore, Ternate, Seram, dan juga Halmahera, tetapi ia terutama memperoleh dukungan dari orang-orang Papua terutama di Raja Ampat. Dukungan orang-orang Papua di Raja Ampat, membuatnya bergelar Sultan Papua II. Meneruskan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) yang bergelar Sultan Papua I.
Kekuatan pasukan Pangeran Nuku begitu hebat, terutama saat ia bersekutu dengan Inggris untuk memerangi VOC. Yang menarik, Pangeran Nuku juga disebutkan didukung oleh ulama dan tokoh haji berpengaruh, yaitu Haji Umar. Ambisi Pangeran Nuku untuk membebaskan dan memunculkan kembali empat Kesultanan Maluku memang tak tercapai. Namun ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari pengaruh Belanda. Hingga ia wafat (1805), Kesultanan Tidore mampu berdiri tanpa pengaruh Belanda. Namun Semenjak ia wafat, Kesultanan Tidore tak mampu lagi mempertahankan kemerdekaannya. Belanda kembali menguasai Kesultanan Tidore.
Masuknya kembali pengaruh Belanda ke Kesultanan Tidore membawa pengaruh besar di Papua. Belanda akhirnya terjun langsung ke bumi Papua, untuk menegakkan kekuasaannya. Motivasi Belanda menguasai langsung Papua setidaknya terdapat lima motif, (1) Belanda hendak mencegah intervensi asing seperti Inggris ke wilayah Papua. (2) Belanda juga berhasrat untuk melindungi kekuasaannya di Maluku. (3) Belanda memiliki kepentingan ekonomi di Papua, terutama dari hasil produk hutan, laut dan eksplorasi agararia. (4) Melindungi Belanda dari perompak, yaitu Suku Tugeri (Marind-Anim) di Papua. (5) Belanda hendak mendukung penyebaran Kristen (Katolik dan Protestan) di Papua.
Belanda mendirikan benteng pertamanya di Papua, yaitu Benteng Du Bus. Dinamakan Benteng Du Bus, sebagai penghargaan terhadap Komisaris Jenderal Hindia Belanda, L.P.J. du Bus de Gesignies yang mengusulkan dibangunnya pos perdagangan di Papua (1826-1830). Belanda kemudian mengumumkan kepemlikan Raja Netherland atas seluruh wilayah Papua bagian barat, kecuali yang menjadi hak Sultan Tidore di Mansarij, Karandefur, Ambapura dan Umbarpon. Meski Benteng Du Bus tak bertahan lama, namun hal ini menandakan berkuasanya Belanda di Papua secara langsung, setelah selama ini mereka ‘berkuasa’ melalui perantara Kesultanan Tidore. Namun pada kenyataannya Belanda mengalami kesulitan mengontrol Papua bagian barat, terutama pesisir bagian selatan. Di wilayah itu (Fakfak), masyarakat pribuminya beragama Islam, dan secara struktur kekuasaan berbentuk kerajaan (pertuanan) sehingga lebih dekat kepada pengaruh Tidore.
Di antara kelima motif Belanda di Papua, mungkin dukungan Belanda terhadap penyebaran Kristen Protestan dan Katolik di Papua, yang paling berpengaruh negatif terhadap syi’ar Islam di Papua. Belanda amat mendukung Kristenisasi di Papua. Kristenisasi di Papua di mulai sejak 5 Februari 1855 dengan kehadiran Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di Mansinam, Manokwari. Mereka berdualah yang kelak dijuluki ‘Rasul Papua’, dan tanggal kehadiran mereka kini diperingati setiap tanggal 5 Februari oleh Gereja Kristen Injili di Papua. Dengan mendukung Kristenisasi di Papua maka, Belanda mendapatkan justifikasi untuk menduduki Papua, menutupi motif utama mereka, mengeruk keuntungan dari tanah Papua.
Di Papua bagian barat, penyebaran Kristen (Zending) bersaing dengan Missi Katolik. Para zending dibantu oleh guru zending yang berasal dari Ambon dan Manado-Sanger. Sedangkan missionaris Katolik dibantu guru yang berasal dari Kei. Kehadiran zending dan missi di Papua bagian barat ini menjadikan penduduk pribumi Papua memeluk Katolik dan Kristen. Namun lain halnya dengan Papua bagian selatan. Di wilayah ini dikuasai missi Katolik, sebagai akibat dari kebijakan Asisten Residen Kroesen. Pada Agustus 1905, missi Katolik dimulai dengan kehadiran Pastor H. Nollen, Pastor P. Braun dan Bruder Roessel di Merauke. Mereka mulai memfokuskan pada kajian bahasa, mengajarkan membaca, berhitung dan menulis. Tahun 1921 missi Katolik mulai mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak Papua.
Di Papua wilayah tengah, lembaga zending Christian and Missionary Alliance membuka pos penginjilan mereka di Baliem. Missi Katolik juga turut serta di wilayah ini. Namun daya cakupan zending lebih luas dibandingkan lainnya. Bagaimanapun, pemerintah kolonial mendukung penuh penyebaran Kristen dan Katolik di Papua,[33] hal ini bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap syi’ar Islam di Papua. Tak ada dukungan, misalnya untuk anak-anak muslim pribumi di Papua.
Syi’ar Islam sejak bercokolnya Belanda di Papua, lebih banyak bergantung kepada umat Islam itu sendiri. Tahun 1910, Haji Abdul Majid mulai mendirikan pendidikan Islam dan masjid pertama di Jayapura. Ia pulalah yang menjadi imam masjid tersebut. Di Merauke, tahun 1908, seiring dibukanya perkebunan kapas, pemerintah Belanda mendatangkan orang-orang Jawa di wilayah tersebut. Anak-anak pendatang ini kemudian mempelajari agamanya dengan bantuan guru mengaji.[35]
Tahun 1930, Tengku Bujang, seorang yang berstatus diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Digulis), tiba di Merauke dan memulai dakwahnya dengan membangun Masjid Sepadin. Di Masjid inilah ia memulai khotbah Jumat dengan bahasa Indonesia. Ia pula yang mempelopori Sholat Ied di lapangan. Di Merauke ia kemudian membentuk Muhammadiyah. Antara tahun 1933-1936 Muhammadiyah mengirimkan tiga orang mubaligh ke Papua, yaitu Ustadz Jais, Ustadz Asarar dan Ustadz M, Chatib.[36]
Di Fakfak, Muslim Papua membentuk Kesatuan Islam Nieuw Guinea (KING), yang dipimpin oleh Raja Rumbati, yaitu Haji Ibrahim Bauw. Ia kemudian membuka sekolah Islam. Tahun 1933, bersama pembimbingnya, Daeng Umar, ia mendirikan Muhammadiyah Fakfak. Namun hal ini tak berlangsung lama, Haji Ibrahim ditangkap dan Daeng Umar diasingkan ke tempat lain. Tahun 1950, bahkan pekerja-pekerja Muslim yang ada di Jayapura dikembalikan secara besar-besaran ke luar Papua. Jayapura menjadi kosong dari penduduk Muslim. Masjid Jayapura pun dijadikan bar dan restoran.[37]
Pemerintah Belanda memang bersikap diskriminatif terhadap muslim di Papua. Buku-buku agama Islam sulit diperoleh, sehingga didatangkan dari Jawa atau daerah lainnya. Pemerintah Belanda, hanya mendirikan sebuah sekolah untuk anak-anak Muslim, yaitu Openbare Vervolg School (O.V.V.S), itupun dilakukan menjelang pengalihan kekuasaan Belanda pada Indonesia ditahun 1960-an.
Syi’ar Islam di Papua semakin semarak sejak Papua bergabung dengan Indonesia. Pemerintah kemudian mendirikan berbagai sekolah, termasuk sekolah pendidikan Agama Islam di Papua. Syi’ar Islam kembali menguat sejak dibukanya program transmigrasi di era Orde Baru.[39] Muslim-muslim yang hadir di Papua meneruskan kembali dakwah Islam di Papua yang telah dimulai setidaknya sejak 500 tahun yang lalu, ketika Islam menjadi agama pertama yang masuk ke Papua. Maka sungguh ironis jika umat Islam, yang telah hadir di Papua sejak 500 tahun yang lalu, diintimidasi dalam melaksanakan ibadah dan syi’ar agamanya.