REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ismail Banda lahir pada 1910. Setelah menamatkan pendidikan pertamanya, ia masuk sekolah menengah Islamiyah di Medan, selama lima tahun. Kemudian, ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, dengan bantuan orang tua dan al-Washliyah.
Saat menimba ilmu di perguruan tinggi Islam tertua itu, Ismail Banda dikenal sebagai mahasiswa yang brilian. Ia tampil sebagai pemuda Indonesia yang cerdas dan kreatif. Ia pun berhasil meraih gelar Ahliyyah dari al-Azhar. Pada 1937, sang pendiri al-Washliyah itu mengantongi ijazah ulama.
Dalam pergerakan Organisasi Mahasiswa Islam di Mesir, Ismail Banda turut aktif menjadi anggota pengurus dari perkumpulan Jam’iyah Chiriyah Jawiyah. Organisasi itu berubah nama menjadi Perkumpulan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom). Pada 1945, Ismail Banda mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di Kairo, Mesir.
Selama di luar negeri, Ismail Banda menjadi pembantu tetap Pewarta Deli dan Pemandangan, sebagi koresponden luar negeri untuk Timur Tengah antara 1932 hingga 1942. Ia pun sempat pula menjadi staf redaksi surat kabar Icksan bagian luar negeri di Mesir yang terbit dalam bahasa Arab.
Meski sibuk di dunia politik dan pergerakan, ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya mendapat pengakuan. Pada 1940, ia menyandang gelar BA pada program studi filsafat di sekolah tinggi al-Azhar. Dua tahun kemudian, ia meraih gelar MA di bidang filsafat.
Tak cuma itu, ia juga mengantongi ijazah bahasa Inggris dari Cambrige University pada 1944. Ismail Banda kembali ke Tanah Air pada 1947 dan terus ke Ibu Kota negara yang kala itu berada di Yogyakarta.
Pergaulannya di Yogyakarta amat menguntungkan umat Islam. Ismail Banda aktif di Masyumi. Awalnya, ia bekerja di Kementerian Agama, tetapi hatinya lebih tertarik dengan urusan luar negeri. Sejak1948, ia diangkat menjadi refrendaris pada Kementerian Luar Negeri di Yogyakarta. Ismail sempat kembali keluar negeri dan menjadi penyiar pada beberapa radio untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.
Pada 1950, Ismail Banda dipindahkan ke Jakarta pada kementerian Luar Negeri dan menjabat perwakilan pada Kedutaan Indonesia di Teheran. Berbekal surat Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 November 1951, ia diperintahkan bekerja pada perwakilan Indonesia di Kabul, Afganistan, dan harus berangkat dengan pesawat udara pada akhir Desember 1951.
Sebelum ke Afganistan, Ismail Banda bermaksud hendak singgah dahulu di Mesir dan di Teheran. Namun, takdir berkata lain. Pesawat yang ditumpangi Ismail Banda dihantam badai topan dan mengalami kecelakaan di Teheran yang menyebabkan seluruh penumpangnya meninggal dunia, termasuk pendiri al-Washliyah Ismail Banda.
Jasadnya dimakamkan di tempat kejadian, yaitu di Teheran. Ismail Banda meninggalkan seorang anak perempuan bernama Nur Laila yang ketika itu berusia 22 tahun dan sempat menjadi pengajar di sekolah al-Washliyah di Medan.
Umat Islam Indonesia pun kehilangan seorang tokoh yang amat berjasa bagi umat dan bangsa. Ia bukan hanya seorang pemimpin Masyumi serta pemimpin al-Jam’iyatul Washliyah, pemimpin umat Islam umumnya. Umat Islam yang berada di Jakarta dan Sumatra Utara menggelar shalat gaib untuk mendoakan sang ulama pejuang.