Selasa 18 Feb 2020 19:25 WIB

Pengertian dan Batasan Hijrah Menurut Imam Ibnu Al-Qayyim

Inti hijrah menurut Imam Ibnu al-Qayyim adalah inti dari bertakwa itu sendiri.

Inti hijrah menurut Imam Ibnu al-Qayyim adalah inti dari bertakwa itu sendiri. Ilustrasi beibadah.
Foto: Antara//Adeng Bustomi
Inti hijrah menurut Imam Ibnu al-Qayyim adalah inti dari bertakwa itu sendiri. Ilustrasi beibadah.

REPUBLIKA.CO.ID, Inti hijrah kepada Allah ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Rasulullah SAW bersabda, ''Seorang Muslim ialah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Ibnu al-Qayyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, ''Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah.'' (Adz-Dzariyaat [51]: 50).

Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju ma'ruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Allah menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Allah menuju tawakal hanya kepada-Nya. Dari berdoa kepada selain Allah menuju berdoa kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Allah menuju tunduk kepada-Nya 

Seorang Muslim yang menginginkan kecintaan Allah dan Rasul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Allah dan Rasul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia. Seorang ulama salaf berkata, ''Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya.''

Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement