Oleh: Fachry Ali, Peneliti Sosial dan Keagamaan
Salah satu pendiri Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan tokoh Masyumi, Anwar harjono, pernah mengalami tekanan batin karena keharusan melakukan seikeirei ─membungkuk ke arah matahari terbit sebagi simbol ketundukan kepada Kaisar Tenno Haika─ di masa pendudukan militer Jepang (1942-45).
Akibat tekanan ini membuat Anwar Harjono lebih intensif melaksanakan shalat tahajjud. “Di antara tahajjud-tahajjud inilah,” tulis Lukman Hakiem dalam tulisan mengisahkan sosok Anwar Jarjono. Katanya, “Harjono merasa mendengar bisikan yang memanggil namanya dan menyebut satu kata ‘Sedati’. Berkali-kali Harjono mendengar bisikan itu, berkali-kali pula ia bertanya-tanya terhadap apa yang didengarnya.”
Setelah menanggalkan tafsir pertama bahwa “sedati” itu adalah nama perempuan yang harus diperistrinya, Harjono menuruti tafsir alternatif yang datang dari ayahnya, yaitu keharusannya belajar di pesantren. Itulah sebabnya, sebelum ke pondok: Harjono lebih dulu memohon petunjuk Allah.
Maka Harjono kemudian menjalankan ‘Tirakat Mutih’ (makan- minum serba terbatas tanpa garam, yakni kebiasaan di Jawa untuk mendekatkan diri kepada Allah) selama 40 hari, dan menggundulkan kepalanya hingga plontos. Bagi Harjono, yang terbiasa dengan pendidikan sekolah, masuk pesantren dan menjadi santri sama artinya dengan menjalankan kehidupan baru.
Karena itulah ia mempersiapkan diri lahir dan batin menjelang keberangkatannya ke pesantren. .... Pesantren yang ia pilih adalah pesantren yang paling berpengaruh ketika itu, yakni Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Hadratus Syaikh K. H. Hasjim Asj’ari (1871-1947).
Dengan bernama Harjono dan berkepala plontos, ia seharusnya dicurigai bukan saja dianggap tidak berasal dari kalangan santri, melainkan juga susupan Jepang. Akan tetapi, potensi kecurigaan ini tak berkembang menjadi aktual karena di hari pertama Harjono berjumpa dengan Kiai Hasjim Asj’ari di depan masjid menjelang sembahyang lohor. Fakta di depan publik santri sang kiai menyalami Harjono telah sekaligus menggugurkan kecurigaan itu.
Lagi pula, ketika waktu kian memungkinkan, Harjono berhubungan dekat dengan Kiai Wahid Hasjim, putra pendiri pesantren tersebut. Apa yang mengubah pandangan tokoh ini adalah nama “Harjono”. Sebagai santri, bagaimana kelak ia harus berhadapan dengan umat Islam dengan hanya berbekal nama itu? Maka, untuk memecahkan dilema tersebut, ia menambah kata “Anwar” di depan nama aslinya. Jadilah ia Anwar Harjono seperti yang dikenal sekarang.