REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis menyadari kalangan milenial memang punya ciri tersendiri. Sehingga, perlu pendekatan berbeda saat berdakwah di kalangan milenial.
"Beda pendekatannya. Milenial ini kan independen, enggak mau terikat waktu dan tempat, enggak mau digurui, mau bersahabat. Mereka juga lebih cenderung pada kebenaran yang universal, dekat pada sifat natural seperti alam. Ya mungkin karena ada kejenuhan di tengah modernitas," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (5/2).
Meski demikian, lanjut Kiai Cholil, nilai dan konsepnya tetap sama. "Tapi terkait metode itu disesuaikan dengan kondisi. Metode itulah yang bisa menyesuaikan ajaran kepada masyarakat sebagai audiens penerima dakwah itu," tutur dia.
Kiai Cholil melihat dai-dai sekarang ini lebih variatif dalam menggunakan metode dakwahnya. Sebab, tiap dai tentu memiliki segmentasinya sendiri. Menurut dia, dai-dai di perkotaan menerapkan dua cara berdakwah, yaitu tatap muka langsung dan melalui tayangan-tayangan di media sosial (medsos).
Namun, Kiai Cholil memandang, berdakwah secara tatap muka langsung sebetulnya diperlukan agar jamaah bisa lebih mendapatkan pemahaman yang mendalam. Hal inilah yang sulit dilakukan jika berdakwah melalui medsos. "Memberi pencerahan dan penyadaran memang iya, tapi kajian mendalam itu butuh secara off-air, karena butuh sentuhan langsung dari kiai," ujarnya.
Untuk menghadirkan dai-dai yang berkompeten, papar Kiai Cholil, MUI juga telah membuat sistem kontrol jaminan mutu untuk para dai melalui program dai bersertifikat. Dengan begitu, diharapkan mereka berhasil dalam dakwahnya di tengah masyarakat sesuai segmen masing-masing.
"Kami sudah ada dai bersertifikat, sudah ada bagaimana mengontrol jaminan mutunya tanpa harus membatasi ustaz-ustaz lain untuk berdakwah," katanya.