Rabu 29 Jan 2020 15:08 WIB

Kenapa Status Islam Dicantumkan di Kartu Identitas Malaysia?

Hanya Islam yang dicetak dengan jelas di kartu identitas Malaysia.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Kenapa Status Islam Dicantumkan di Kartu Identitas Malaysia?. Foto: Bendera Malaysia (ilustrasi)
Foto: Reuters
Kenapa Status Islam Dicantumkan di Kartu Identitas Malaysia?. Foto: Bendera Malaysia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini Kementerian Dalam Negeri Malaysia  kembali menegaskan pendiriannya, bahwa pemerintah tidak akan menghapus status agama di kartu identitas penduduk atau dikenal dengan MyKad. Di MyKad, status agama Islam tertera dengan jelas di bagian depan kartu identitas Negeri Jiran tersebut. Sedangkan agama lain (non-Muslim), informasinya hanya disimpan di dalam chip kartu identitas.

Lantas, mengapa hanya Islam yang dicetak dengan jelas di MyKad, sedangkan non-Muslim informasinya  dicatat di dalam chip?

Baca Juga

Lalu, menngapa kartu identitas orang Malaysia mengandung informasi tentang agama apa yang mereka anut? Dan mengapa pemerintah mengumpulkan informasi tentang agama masing-masing penduduk di negara itu?

Malay Mail mengungkapkan, seperti dilansir pada Selasa (28/1), bahwa itu semua berkaitan dengan hukum di negara itu. Situs berita Malaysia ini menjelaskan soal hukum dan sejarah di balik pengawasan pemerintah Malaysia terhadap afiliasi keagamaan di Negeri Jiran ini.

Seperti diketahui, Islam merupakan unsur penting dalam identitas budaya melayu di Malaysia. Bahkan, sesuai dengan konstitusi Negeri Jiran itu di Pasal 3(1), disebutkan bahwa Islam merupakan agama Federasi (negara). Sementara agama lain, menurut konstitusi, dapat dipraktikkan secara bebas dalam kedamaian dan keharmonisan.

Dengan demikian, status agama bagi Muslim Malaysia merupakan elemen penting dalam implementasi Pasal 11 (4) Konstitusi serta Undang-undang Syariah. Pasal 11(4) menyatakan, bahwa hukum negara bagian dan hukum federal ketika menyangkut wilayah federal Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya) dapat mengendalikan atau membatasi penyebaran kepercayaan agama apa pun di kalangan umat Islam.

Pekan lalu, kementerian dalam negeri Malaysia menjelaskan, bahwa pencantuman status keagamaan di kartu identitas merupakan arahan Departemen Registrasi Nasional melalui Peraturan Registrasi Nasional (PPPN) 1990. Sementara pencantuman agama Islam di bagian depan kartu identitas atau MyKad sesuai dengan Regulasi 5(2) dalam PPPN.

Menilik pada hukum di Malaysia, Undang-undang Registrasi Nasional 1959, yang hanya memiliki delapan ketentuan pendek, sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan rincian apa yang harus ditunjukkan pada kartu identitas penduduk Malaysia. Namun, Pasal 6 UU itu mengatakan, menteri dalam negeri dapat membuat peraturan, termasuk aturan tentang bagaimana kartu identitas negara itu akan muncul dan apa rincian yang harus ditampilkan.

Dengan demikian, rincian sebenarnya ada dalam Peraturan Registrasi Nasional 1990. Pasal ini memiliki 30 peraturan dan berisi prosedur seperti apa yang harus dilakukan jika warga kehilangan kartu identitas dan berapa yang harus dibayar ketika mengajukan kartu identitas baru atau pengganti.

Pada 31 Desember 1990, versi pertama dan asli dari Peraturan Registrasi Nasional 1990 mulai berlaku. Isinya antara lain mengharuskan orang Malaysia untuk memberikan dua foto diri dan cap jempol yang identik ketika melamar kartu identitas mereka.

Dalam versi asli 1990 dari Peraturan 4(c), warga Malaysia diminta untuk memberikan rincian ini hanya kepada petugas pendaftaran. Rincian itu termasuk nama lengkap, nomor kartu identitas sebelumnya (jika ada), alamat rumah, ras, tempat lahir, tanggal kelahiran dan jenis kelamin, kelainan fisik jika ada, status kewarganegaraan dan perincian lain yang dianggap perlu oleh petugas untuk identifikasi serta bukti dokumenter untuk mendukung perincian tersebut.

Namun, tidak dikatakan bahwa orang Malaysia diminta memberikan  perincian tentang agama mereka ketika mengajukan kartu identitas. Dalam versi asli 1990 pun, Jadwal Pertama (berdasarkan peraturan 5(2)) mencantumkan bagaimana kartu identitas akan muncul.

Di sini, informasi yang tercetak di atasnya menjadi nomor kartu identitas seseorang, nama, alamat tempat tinggal, tanggal penerbitan, nomor kartu identitas lama jika ada, kode identitas untuk penduduk asli Sabah dan Sarawak, status tempat tinggal dan foto. Sedangkan kebalikan dari kartu itu berisi sidik jari jempol kiri dan kanan orang tersebut.

Selama hampir 10 tahun, pemerintah Malaysia tidak membuat perubahan sama sekali pada peraturan tahun 1990. Namun pada  2000, pemerintah membuat amandemen pertama pada versi peraturan tahun 1990. Mereka memperkenalkan persyaratan baru untuk penerapan dan tampilan kartu identitas.

Amandemen tersebut dibuat pada tanggal 4 Februari 2000 oleh menteri dalam negeri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, yang juga kemudian menjadi wakil perdana menteri dan kemudian akan menjadi perdana menteri beberapa tahun kemudian. Dalam amandemen itu, sesuai Peraturan 4(c) (iva) yang baru, penduduk Malaysia yang mengajukan kartu identitas kini diharuskan menyediakan informasi tentang agama mereka (hanya untuk Muslim). Dengan kata lain, mereka harus memberi tahu petugas pendaftaran agama jika mereka adalah Muslim.

Amandemen ini juga mengubah Jadwal Pertama, dengan memperkenalkan persyaratan baru untuk kartu identitas agar mencetak detail tentang agama (hanya untuk Muslim). Dengan kata lain, inilah yang membuat Muslim Malaysia kini memiliki status 'Islam' yang tercetak dengan jelas di kartu identitas mereka.

Dua persyaratan baru yang dibuat pada tahun 2000 ini hanya berlaku bagi umat Islam. Peraturan itu secara efektif berlaku sejak 1 Oktober 1999. Sementara itu, pemerintah Malaysia terus melakukan amandemen lebih lanjut pada peraturan 1990, yakni pada 2001, 2007, 2014, 2015, dan 2017.

Dalam amandemen 2001 yang dibuat pada 26 Juli 2001 oleh menteri dalam negeri Abdullah, pemerintah mengubah persyaratan tahun 2000 untuk memberikan informasi tentang agamanya (hanya untuk Muslim) menjadi persyaratan baru "agama". Secara efektif, itu berarti orang Malaysia sekarang secara tegas diharuskan untuk memberikan perincian tentang agama mereka ketika mengajukan kartu identitas terlepas dari apakah mereka Muslim atau non-Muslim.

Persyaratan baru ini muncul di bawah peraturan baru 4 (cc), yang mulai berlaku sejak 1 November 2000. Di Malaysia, undang-undang federal seperti Undang-undang Registrasi Nasional memberdayakan menteri terkait untuk membuat peraturan yang terkait dengan hukum utama.

Dengan demikian, peraturan itu tidak harus disahkan di parlemen untuk menjadi sebuah undang-undang. Tidak seperti undang-undang yang harus diajukan, diperdebatkan, disetujui, dan dikukuhkan sebelum dapat diberlakukan.

Namun demikian, orang Malaysia mungkin tidak tahu alasan di balik kebijakan itu ditegakkan melalui peraturan. Sebab, peraturan itu tidak menerima pengawasan yang sama seperti undang-undang.

Begitu pentingnya status agama Islam di Malaysia ini mungkin dapat dilihat dari kasus Lina Joy. Fakta tentang kasus ini diterangkan dalam putusan Pengadilan Federal 30 Mei 2007.

Lahir dengan nama Azlina Jailani,  perempuan Melayu itu dibesarkan secara Muslim. Namun pada usia 26 tahun, ia memutuskan untuk memeluk agama Katolik setelah bertahun-tahun berpacaran dengan seorang pria Katolik.

Pada 1997, Azlina mendaftar ke Departemen Registrasi Nasional untuk mengganti namanya di kartu identitas menjadi Lina Lelani. Ia juga menyatakan bahwa ia telah berpindah keyakinan menjadi Kristen dan hendak menikah dengan  kekasihnya.

Namun, aplikasinya ditolak oleh Departemen Pendaftaran Nasional (NRD) pada Agustus 1997 tanpa alasan yang jelas. Lina kemudian mengajukan kembali aplikasi pada Maret 1999 untuk mengubah namanya dalam catatan resmi dengan nama Lina Joy. Ia juga mencantumkan perpindahan agamanya. Langkah ini kembali dilakukan pada Agustus 1999, dengan mencantumkan permintaan perubahan nama sebagai pilihan.

Namun demikian, seorang petugas NRD memberi tahunya pada Juli 1999 bahwa ia tidak boleh menyebut perpindahan agamanya sebagai alasan permintaan perubahan namanya. Sebab, kartu identitas tidak menyebutkan agamanya.

Akhirnya pada 22 Oktober 1999, NRD memberi tahunya dalam sebuah surat bahwa mereka menyetujui permohonan namanya di kartu identitas menjadi Lina Joy. Ia lantas diminta mengajukan kartu identitas baru.

Lina mengajukan kartu identitas baru pada bulan yang sama pada 1999, dan menyatakan agamanya sebagai agama Kristen ketika mengisi formulir aplikasi. Hingga akhirnya, ia menerima kartu identitas dengan nama barunya, Lina Joy.

Namun, keterangan agama Islam masih tertera di kartu tersebut dan mencantumkan nama aslinya Azalina Jailani di sisi belakang kartu. Tanpa sepengetahuannya karena tidak ada informasi dari NRD, Peraturan Registrasi Nasional diubah pada tahun 2000 yang mengharuskan "Islam" ditampilkan pada kartu identitas umat Islam.

Pada 2000, ia kembali mendaftar ke Departemen Registrasi Nasional untuk menghapus kata 'Islam' dari kartu identitasnya. Namun, aplikasinya ditolak dengan alasan ia harus mendapatkan sertifikat atau perintah dari pengadilan syariah atau otoritas Islam lainnya mengenai perpindahan agamanya dari Islam.

Karena kartu identitasnya yang masih Muslim, ia tidak bisa menikah dengan calon suaminya yang merupakan Katolik secara hukum. Lina lantas menempuh jalur hukum untuk mendapatkan pengakuan agama barunya. Akan tetapi, pengadilan negeri dan tinggi menolak melakukan hearing atas kasusnya lantaran ia dianggap tetap Muslim. Hakim yang bertolak belakang, Tan Sri Richard Malanjum, mengatakan bahwa NRD tidak bertindak adil. Pasalnya, paling tidak Lina diberi tahu soal amandemen tersebut.

Lina kemudian membawa kasusnya ke Mahkamah Agung Malaysia. Pengacaranya menegaskan, bahwa Lina tidak memerlukan izin siapapun untuk berpindah agama karena kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi Malaysia. Karenanya, pengadilan diminta mengharuskan pemerintah mengubah keterangan agama Islam di kartu identitas Lina menjadi Kristen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement