Kamis 26 Dec 2019 05:17 WIB
HAMKA

HAMKA, Natal, dan Pelajaran Toleransi dari Rumah Nomor 5

Hamka memberi contoh toleransi sejati itu apa.

Buya Hamka

Setahun lewat, tepatnya pada 17 Februari 1973, umur Hamka memasuki 65 tahun. Para sahabat, teman, dan murid datang ke rumah Hamka. Di antara yang datang adalah Laksamana Budiarjo. Saat Menteri Penerangan ini berkunjung, Reuneker turut hadir, bahkan persis duduk di sebelahnya (lihat foto di header Catatan ini; kedua dari kanan). Bagi Hamka, persahabatan 17 tahun dengan Reuneker sudah menempatkannya sebagai kawan sejati. Tak ada risiko bila ia langsung menyaksikan perbincangan Hamka dengan tamu dari kalangan pejabat tinggi.

Tertanggal 30 Januari 1974. Jelang dua windu persahabatan akrab dengan Reuneker, Hamka jatuh sakit karena kecapaian. Sepekan lamanya Hamka tidak keluar rumah. Sekira pukul 10, Hamka harus beranjak dari tempat istirahatnya. Langkah kaki tergesa-gesa terdengar di telinganya. Benar saja, di depannya berdiri Nita, anak perempuan paling kecil Reuneker. Mukanya murah dengan air mata meleleh.

“Abuya… Papi meninggal….”katanya.

Mendengar itu, Hamka tak bisa menyimpan rasa terkejut. Ia harus berlekas mengganti pakaian lalu menuju rumah Reuneker.

“Tuhan sudah panggil dia…,” Istri Reuneker memberitahukan ketika Hamka memeriksa jenazah jiran sekaligus sahabat karibnya itu. Suhu badan Reuneker masih panas dirasakan oleh indra Hamka. Wajah sang sahabatnya itu terlihat tenang.

“Sudah berapa lama?” tanya Hamka.

“Baru setengah jam. Pukul setengah sembilan setelah makan pagi dia mengatakan akan pergi melihat Pak Hamka. Karena dia dengar Pak Hamka ada sakit,” terang istri Reuneker.

“Dia telah pakai pakaian dan telah saya ambilkan sepatunya. Sebentar mau pergi tengok Pak Hamka. Tiba-tiba dia jatuh, saya sambut dan mau tidurkan dia, tidak lama dalam pangkuan saya dia pun sudah pergi! Rupanya Tuhan menentukan Pak Hamka yang datang tengok dia…,” jelasnya kemudian.

“Dia kelihatan tenang. Air mata menggenang saja di rongga matanya,” tulis Hamka tentang reaksi istri Reuneker. Hamka tak ragu menyebut istri Reuneker sebagai penganut taat Katolik.

Esoknya, jenazah Reuneker dibawa ke Salatiga untuk dikuburkan di sana. Zaki, atas nama keluarga Hamka, turut mengantarkan hingga selesainya prosesi penguburan menurut agama almarhum.

Budi baik terkenang juga! Begitu Hamka menutup kenangannya pada sang jiran karib. Amat pantas Hamka menyebut kebaikan Reuneker, yang semasa hidupnya dalam bertetangga selalu membantu tanpa pamrih. Dalam iman yang berbeda, tak ada saling melukai perasaan.

“Pergaulan kami bertetangga adalah sangat baik. Timbal balik,” jelas Hamka, masih dalam tulisan tentang Reuneker. Hamka, selaku kepala keluarga, adalah contoh pertama bagi semua penghuni rumah.

“Sebabnya ialah karena hendak mempraktikkan anjuran dari Nabi saw sendiri,” terang Hamka yang kemudian menyitir hadits yang artinya: “Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman orang yang menyakiti tetangganya.”

Sebagai orang beragama, bahkan dianggap seorang pemuka agama, menjadi kewajiban bagi Hamka untuk menjalankan sabda Nabi itu dengan seluruh tetangga. Tak peduli latar tetangganya itu berbeda keyakinan. Selagi masih dalam batas hubungan manusia, tidak menyalahi keimanan menurut Islam, semua relasi dengan manusia yang tidak berupa kejahatan amat sangat dianjurkan.

Tak semata untuk memenuhi keyakinan hati pada syariat Islam, menjalin hubungan baik dengan sesama insan—dengan berbeda iman sekalipun—berguna dalam keberlangsungan hidup. Seperti dijalankan Hamka yang sewaktu-waktu memerlukan bantuan jiran berbeda iman. Toh dalam hubungan keseharian, sebagai bagian hidup bertetangga, saling meminta bantuan tak lagi memandang perbedaan iman.

Barulah bila hal yang mengusik keimanan disentuh, batas toleransi patut dijaga. Namun, tidak lantas segera mewujudkannya dengan amarah. Siapa tahu hanya karena ketidaktahuan belaka dari sang jiran berbeda iman. Dalam hubungan dengan Reuneker, soal semacam ini kiranya manusiawi terjadi. Tidak semua kebaikan yang diberikan lantas disikapi dengan penuh tenggang rasa.

Tampaknya karena memandang berbagi kepada sesama—apalagi tetangga dekat dan akrab—keluarga Reuneker saban Lebaran mengirimkan makanan ke keluarga Hamka sekaligus mengucapkan Selamat Hari Raya.

Dalam buku Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (2008), sebuah nama seperti segan disebutkan. Dalam bab “Toleransi”, disebutkan tetangga Hamka yang “warga negara keturunan Belanda beragama Kristen”. Sosok tersebut bisa dipastikan adalah Reuneker. Bukan hal aneh bila keluarga Reuneker ringan tangan membungahkan keluarga Hamka saat merayakan Lebaran. Namun, ada satu bagian menarik yang disebutkan di sini.

Seorang cucu Hamka tergerak untuk membalas kebaikan hati sang tetangga, keluarga Reuneker. Sang cucu Hamka ini berniat akan melakukan kunjungan balik ketika keluarga Reuneker merayakan Natal. Sembari mengutarakan niatnya itu, ia pun meminta izin pada Hamka. Niat itu tidak diperkenankan. Tidak boleh dilanjutkan.

Menurut Hamka, sebagaimana ditulis dalam Mengenang 100 Tahun, “dengan sengaja mengunjungi tetangga untuk mengucapkan selamat Hari Natal, sama artinya dengan ikut merayakan dan bergembira dengan perayaan Natal (kelahiran) itu, sekaligus mengakui keyakinan mereka (umat Kristen) yang keliru, yang menganggap bahwa Nabi Isa as, sebagai Tuhan.”

“Biarkan saja mereka merayakan kegembiraan yang menjadi keyakinan mereka itu,” tandas Hamka. Hamka sendiri ketika menasihati sang cucu digambarkan: “Jauh dari nada keras atau marah, tetapi sebaliknya disampaikan dengan tutur kata lemah lembut. Ini karena audiens-nya adalah seorang anak yang masih berusia remaja.”

Bagi Hamka, selagi masih berkaitan dengan keimanan menurut Islam, tidak ada ruang untuk mencari-cari alasan bertenggang rasa. Toleransi tetap bisa ditegakkan tanpa harus mencari-cari tindakan untuk mengendurkan semangat keimanan yang kita peluk. Sekalipun dengan atas nama kerukunan dan kebersamaan dalam atap satu bangsa.

Persahabatan Reuneker dan Hamka, juga banyak kesaksian tertambatnya hati kalangan berbeda iman pada budi pekerti Hamka, memberikan pelajaran: kapan saat mesti berlaku lembut sesuai hadits Nabi yang dipedomani Hamka dalam membina hidup bertetangga, dan kapan saat harus lugas bersikap ketika sudah masuk hal-hal syubhat atas nama yang kadang diciptakan indah didengar.

Semasa Reuneker masih hidup, Hamka tidak mengizinkan anak-cucunya untuk turut merayakan Natal di jiran terdekatnya. Bahkan sekadar mengucap Selamat Hari Raya Natal. Ini memang ijtihad Hamka, yang kelak digenggamnya erat semasa menjabat Ketua MUI. Pada 7 Maret 1981 keluar fatwa oleh Komisi Fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam turut serta dalam upacara Natal bersama.

Saat fatwa tersebut keluar, Hamka memang tak lagi melihat senyum Reuneker. Namun, Hamka bakal yakin dirinya sudah membuat orang-orang tersenyum—yang pasti saudara Muslimnya—kelak di akhirat dari konsekuensi latah-latahan atau mau dibayar untuk ikut perayaan agama lain atas nama toleransi. Padahal, pada waktu yang lain di luar Natal misalnya, ada banyak hal yang mesti saling dibangun dan dibina oleh semua pemeluk agama, ternyata diabaikan. Toleransi hanya jadi kata indah pada momen tahunan untuk hari yang pendek.

Sekira Reuneker masih hidup saat fatwa MUI itu keluar, Hamka pun bakal siapkan hujah. Ya, agar persahabatan yang lama terbangun tak rusak karena sangkaan tidak-tidak hasil olahan para provokator, semisal pengatas nama isu kebangsaan. Dan semua penghuni Jalan Raden Patah III nomor 5 pun bakal mengerti mana yang benar-benar tulus bertoleransi dan mana yang sekadar berbasa-basi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement