Kamis 26 Dec 2019 05:17 WIB
HAMKA

HAMKA, Natal, dan Pelajaran Toleransi dari Rumah Nomor 5

Hamka memberi contoh toleransi sejati itu apa.

Buya Hamka
Buya Hamka

Oleh Yusuf Maulana, Penulis Buku "Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat"

Juni 1956, Hamka resmi menempati rumah barunya di Kebayoran Baru, kawasan di pinggir Jakarta pada masa itu. Dari enam rumah yang ada di Jalan Raden Patah III, hanya dua rumah yang seluruh penghuninya Muslim, salah satunya keluarga Hamka. Sepuluh tahun lewat, rumah jiran seagamanya itu dikontrakkan kepada orang asing. Satu rumah lagi sebenarnya ada yang berpenghuni Islam, tapi tinggal bersama-sama dengan pemeluk agama lain.

Walau terbilang minoritas di lingkungan rumahnya, Hamka tak surut bergerak menyebarkan keyakinannya: Islam. Targetnya tentu saja bukan kepada pemeluk agama lain di kanan-kiri rumah. Lewat pelbagai majelis yang dipusatkan di sebuah masjid jami’ yang berada di sebelah utara kediaman Hamka, kawasan di Kebayoran Baru tersebut berubah menjadi “hijau”, sedangkan masjid itu kelak dikenal luas sebagai: Masjid Al Azhar.

Tak banyak yang tahu bahwa orang-orang awal dan terdekat di rumah Hamka adalah kalangan bukan Islam. Tak ada permasalahan dengan berbedanya keyakinan di antara semua penghuni di Jalan Raden Patah III. Sebaliknya, mereka bahu-membahu dan tolong-menolong sebagai sesama umat manusia.

Saban bepergian jauh, semisal melawat ke luar negeri, Hamka akan berpamitan dengan semua jirannya tanpa terkecuali. Ia juga akan meminta bantuan mereka untuk turut mengawasi anak-anaknya. Terutama rumah di sampingnya persis yang dinomori angka 3.

Enam rumah penghuni awal itu dinomori dengan angka ganjil: 1,3, 5, 7, 9, dan 11. Hamka menempati nomor 1. Rumah nomor 3 milik keluarga Tionghoa asal Semarang, dan penghuninya merupakan pemeluk taat Katolik, terutama sang nyonya rumah. Hal jamak bila pastor sering mendatangi rumah ini.

Yang juga acap dimintai bantuan, sehubungan dengan kesibukan Hamka bepergian ke mana-mana memenuhi undangan dakwah, adalah rumah di sebelahnya lagi. Lagi-lagi pemeluk Katolik. George Reuneker nama kepala keluarga ini. Ia seorang Indo-Belanda asal Salatiga. Setiap Hamka meminta bantuannya, terutama untuk menitipkan anak-anak, Reuneker sangat antusias. Tidak ada basa-basi, sementara Hamka pun tak menghadirkan sangkaan buruk padanya.

Pada 1958, seorang anak Hamka, Irfan, menderita sakit yang cukup parah. Akibat sakit yang dideritanya, sekolahnya telantar setahun. Berbulan-bulan ia dirawat di rumah sakit, bahkan sampai pernah diopname. Menurut dokter ahli yang merawatnya, Irfan terlalu banyak membaca karangan ayahnya yang berat-berat, baik tasawuf ataupun filsafat.

“Dia musti diistirahatkan. Kalau tidak jiwanya bisa jadi rusak! Masih anak-anak sudah merasakan hendak jadi orang tua!” kenang Hamka tentang kejadian itu, seperti dituliskan dalam Panji Masyarakat nomor 216 - 1 Februari 1977.

Umur Irfan ketika itu 15 tahun. Tetangga mereka, Reuneker, menawarkan diri untuk membantu pemulihan jiwa Irfan. Ia memang berencana membawa putra jirannya itu ke rumah orangtuanya di Salatiga. Kepedulian terhadap tetangga kecilnya itu tak semata dalam urusan kesehatan, melainkan juga dalam peribadahan. Saat di Salatiga, istri Reuneker menyediakan tikar khusus buat shalat Irfan. Bahkan, kata Hamka, Nyonya Reuneker tak sungkan-sungkan mengingatkan Irfan agar shalat pada awal waktu.

Sebulan lamanya Irfan dirawat keluarga Reuneker. Hasilnya, ia lebih gemuk dan riang. Tak disebutkan dalam tulisan Hamka, bagaimana keluarga Reuneker melakukan semuanya. Yang jelas, setelah itu jalinan perkariban Hamka dan Reuneker kian kuat. Sampai kemudian terjadi penangkapan Hamka oleh aparat atas tuduhan subversif pada 27 Januari 1964.

“Di saat seperti itu jelas siapa sahabat setia dan siapa sahabat yang penakut,” tutur Hamka. “Sebelum datang percobaan, banyaklah orang yang mendekat. Kalau duduk di dalam Masjid Agung (Al Azhar), baik sehabis sembahyang subuh atau sehabis maghrib, banyak yang berkerumun, dan kalau bercakap banyak yang memuji. Tetapi setelah dapat cobaan yang demikian (penangkapan), mulailah istri dan anak-anak di rumah merasakan kesepian.”

“Orang yang dahulunya begitu dekat, sekarang banyak yang menjauh, karena ‘takut kena getahnya’. Ada yang berjalan menekur saja, jika terpaksa lewat di hadapan rumah kami. Hanya sedikit tinggal kawan, di antara yang sedikit itu ialah Saudara Reuneker.” Demikian Hamka mengenang.

Ya, Reuneker selalu mampir ke rumah jirannya guna menemui Siti Raham, istri Hamka, dan anak-anak Hamka. Tak hanya diri Reuneker, istri dan anak-anaknya pun bersikap sama. Mereka seakan-akan tidak merasakan adanya pengucilan sebagian masyarakat terhadap keluarga Hamka. Yang ada malah sebaliknya, Reuneker secara demonstratif memperlihatkan simpati dan solidaritas untuk beban yang ditanggung keluarga Hamka.

“Ummi, kalau ada kesukaran jangan segan-segan katakan kepada saya. Saya akan tolong sekedar tenaga saya,” katanya kepada Siti Raham, sebagaimana diceritakan Hamka.

Dan sang istri Hamka hanya menjawab pendek, tak ingin merepotkan, “Terima kasih, sekarang masih ada persediaan.”

Kebaikan Reuneker menjadi kabar penghibur bagi Hamka saban dibesuk keluarganya. Di samping yang berbuat baik secara jelas, ada pula pihak-pihak yang memilih diam-diam membantu Hamka. Orang-orang tak dikenal itu mengirimkan beras, uang, ataupun wesel ke penghuni nomor 1 di Jalan Raden Patah III.

Agustus 1964, atau delapan bulan dalam tahanan, wasir dan disentri mengakrabi Hamka. Kala itu Hamka masih berada di tahanan Mega Mendung, Bogor. Hamka berlekas melapor ke polisi agar didatangkan Saifullah Nur, dokter pribadinya. Atas saran dokter, Hamka memang harus dirawat di rumah sakit. Hamka ditempatkan di salah satu kamar di Rumah Sakit Persahabatan; tempat yang difungsikan pula sebagai ruang tahanannya hingga kelak menghirup udara bebas.

Dari seorang polisi yang menjaganya selama di tahanan Mega Mendung, Hamka mendapatkan informasi bahwa pemindahannya ke rumah sakit adalah efek pemberitaan BBC London, yang menyiarkan bahwa selama di ruang tahanan Hamka jatuh sakit tapi tidak mendapatkan pengobatan.

Dua hari setelah pemeriksaan penyakit, keluarga Hamka datang ke Mega Mendung. Pihak keluarga turut menyaksikan pemindahan Hamka ke Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun. Selain sang istri dan putra tertuanya, Zaki, hadir pula Reuneker.

“Sungguh saya terharu atas kedatangan Reuneker bersama istri dan anak saya ke tempat saya ditahan buat dipindahkan ke rumah sakit. Dia menunjukkan kecemasan mendengar saya sakit. Dia menembus hambatan polisi yang akan mempersukar pertemuannya dengan saya,” kenang Hamka.

Berikutnya, Reuneker turut mengantarkan Hamka dari rumah tahanan sampai ke Rumah Sakit Persahabatan.

Selepas pembebasan Hamka dari segala tuduhan, keadaan kembali berbalik normal. Bila dengan beberapa orang yang sempat menjaga jarak saja kembali ke sediakala, apatah lagi dengan Reuneker, tentunya kian rapat. Dan itu dibuktikan ketika Hamka kembali “merepotkan” Reuneker. Pada 1968, Hamka pergi naik haji bersama istri dan Irfan; Reuneker terpanggil menjaga rumah dan anak-anak yang ditinggalkan tanpa ada sikap keberatan.

Begitu pula ketika anak-anak Hamka menikah, salah satunya Irfan. Atau saat peringatan 40 tahun pernikahan Hamka dan sang istri yang jatuh pada April 1969. “Semuanya turut diramaikan dan digembirakan oleh Reuneker sekeluarga,” Hamka mempersaksikan.

Saat Siti Raham wafat pada 1 Januari 1972, Reuneker hadir dengan pakaian hitam berkabung lengkap. Ritual menurut keyakinannya dijalani dengan khusyuk di depan jenazah Siti Raham. Istri dan anak-anaknya turut mengikuti. Sebelum jenazah dikebumikan, pagi-pagi Reuneker dan sang istri ikut menjemput anak-anak Hamka di Stasiun Gambir. Mereka menanti kedatangan anak-anak Hamka yang pulang dari Pondok Modern Gontor.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement