REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah Indonesia lebih tegas menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di Uighur, Xinjiang, China. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, Muhammadiyah mendesak pemerintah Indonesia menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam mengenai permasalahan Uighur.
Pemerintah Indonesia juga diminta bersikap lebih tegas untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di Xinjiang sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif. Pemerintah China melarang Muslim Uighur melaksanakan ibadah di tempat umum.
Ia menyampaikan, pemerintah Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan perannya sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Untuk menggalang diplomasi bagi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," kata Mu'ti saat menyampaikan pernyataan sikap Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Senin (16/12).
Ia menyampaikan, Muhammadiyah juga mendesak PBB mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM atas masyarakat Uighur, Rohingya, Palestina, Suriah, Yaman, India, dan lain sebagainya. Muhammadiyah mendesak OKI mengadakan sidang khusus dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM yang dialami umat Islam khususnya di Xinjiang.
Mu'ti menambahkan, Muhammadiyah mendesak pemerintah China lebih terbuka dalam memberikan informasi dan akses ke masyarakat internasional mengenai kebijakan di Xinjiang. Pemerintah China juga diminta menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM khususnya kepada masyarakat Uighur atas dalih apapun.
"Pemerintah China hendaknya menyelesaikan masalah Uighur dengan damai melalui dialog dengan tokoh-tokoh Uighur dan memberikan kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas," ujarnya.
Muhammadiyah juga menyesalkan pemberitaan Wall Street Journal (WSJ) yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi pemerintah China terhadap PP Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai upaya mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah, NU, dan MUI atas permasalahan HAM di Xinjiang. Menurutnya, pemberitaan WSJ tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, NU dan MUI.
PP Muhammadiyah mendesak agar WSJ meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. "Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya," kata Mu'ti.