REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kehadiran gajah bernama Abul Abbas telag membuat geger warga Franka, yang kala itu menjadi kerajaan besar di Eropa. Sementara pengirim hadiah, adalah dinasti Abbasiyah, penguasa dunia Islam.
Kekaisaran Abbasiyah tentu mampu untuk memberi lebih dari sekadar gajah. Persembahan lain untuk Charlemagne berupa seekor monyet, sebuah tanduk berukir yang terbuat dari gading gajah, sebuah nampan dan kendi emas, par fum, satu set peralatan catur, kain-kain paling bagus dan mahal, sebuah tenda besar, dan sebuah jubah kebesaran yang berhiaskan bordiran tulisan Arab yang berbunyi “Tiada Tuhan Selain Allah”.
Salah satu hadiah yang mengandung decak kagum para pembesar Franka adalah jam air yang mempunyai 12 bola kuningan. Untuk memberitahukan da tangnya waktu, bola kuningan itu menja tuhkan diri ke piringan simbal ber samaan dengan keluarnya 12 patung prajurit berkuda yang sedang berparade dari sebuah jendela kecil.
Beragam hadiah tersebut adalah hasil diplomasi Charlemagne terhadap Dinasti Abbasiyah yang kala itu menjadi penguasa utama Dunia Islam. Hubungan dua kerajaan besar ini terjalin hanya 70 tahun setelah peristiwa pertempuran Tours, ketika Karel Martel berhasil mnghentikan invasi Muslim Spanyol atas Prancis.
Charlemagne masih mewarisi nama besar kakeknya itu. Charlemagne dipuja orang Eropa karena berhasil menahan kekuatan Muslim Spanyol agar tak bergerak lebih jauh ke utara dari garis geografis Pegunungan Pirenea.
Di sebelah timur kerajaannya, sang Karel Agung itu juga berhasil menahan serang an dari suku-suku Saxon yang sering menjarah wilayah tepian Sungai Rhine. Maka, diplomasi Charlemagne yang mendekati Harun al-Rashid seakan merupakan paradoks bila hanya dilihat dalam hubungan Islam-Kristen.
Langkah Prancis mendekati Baghdad sebenarnya bisa dipahami, mengi ngat orang Arab di Spanyol saat itu adalah pewaris Dinasti Umayyah di Damaskus yang telah ditaklukkan oleh wangsa Abbasiyah. Misi Charlemagne menjalin hubungan baik dengan Bagh dad sangat jelas, yaitu untuk menahan ekspansi Dinasti Umayyah di Spanyol ke Eropa serta melindungi kaum Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Abbasiyah.
Bagi Dinasti Abbasiyah, bangkitnya Dinasti Umayyah di Spanyol yang beribu kota di Kordoba itu juga dianggap sebagai ancaman masa depan bagi wilayah kekuasaan Abbasiyah di sebelah barat, yaitu Afrika Utara. Kha lifah al-Mansur bahkan pernah meme rintahkan Ibn Mughit al-Yahsubi selaku gubernur Abbasiyah di Maghribi agar menginvasi Andalusia yang baru saja menjadi tempat lahirnya kembali kekuasaan Dinasti Umayyah.
Pasukan Abbasiyah itu berhasil dihancurkan Abdurrahman ad-Dakhil, pangeran terakhir wangsa Umayyah yang mendirikan dinasti itu di Spanyol. Abdurrahman mengirimkan kepala Ibn Mughit ke Makkah bersama surat dari al-Mansur yang membuat penguasa Abbasiyah itu tercekam ketakutan.
“Ini adalah perbuatan setan. Segala puji bagi Allah yang telah menaruh lautan di antara kita.” Maka, dunia saat itu terbagi dalam tiga kekuatan, yaitu Umayyah di Spanyol, Abbasiyah di Timur Tengah, dan Franka di Eropa.
Bila keberadaan Dinasti Umayyah di Spanyol merupakan ancaman masa depan bagi Abbasiyah, tak demikian halnya bagi suku-suku Franka yang tinggal di selatan Prancis. Mereka masih merasa ngeri mengenang kebengisan pertempuran di tepi Sungai Loire, pembantaian pasukan Franka di Sungai Garonne, dan terakhir pertempuran di Tours dan Poitiers yang dikenang orang Spanyol sebagai balatu’sy syuhada atau timbunan mayat para syuhada.
Bagi Charlemagne, permusuhan terhadap Muslim Spanyol adalah sikap resmi negara. Sementara, persahabatan dengan Harun al-Rashid juga tak lepas dari pengaruh diplomasi kalangan gereja terhadap pemerintahannya. Charlemagne telah menjalin aliansi dengan pihak gereja untuk membantunya mendapatkan gelar Holy Roman Emperor, sang penjaga Dunia Kristen.