REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena hijrah satu dekade terakhir ini di kalangan Muslim Indonesia merupakan suatu hal yang positif sekaligus perlu diantisipasi nilai negatifnya. Salah satunya adalah mengenai mudahnya seseorang memutuskan suatu perkara halal-haram tanpa basis pengetahuan yang cukup.
Pendakwah yang juga mantan teroris, Sofyan Tsauri, mengatakan fenomena hijrah sejatinya merupakan gerakan yang diinisiasi dari pribadi-pribadi insan yang baik. Dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, hijrah kemudian menjadi pilihan.
Hanya saja menurutnya, hijrah tidak bisa dimaknai dengan maksud untuk melemparkan pernyataan mengenai hukum-hukum Islam tanpa memiliki kapasitas yang mumpuni.
“Hijrah itu baik, tapi jangan sampai kita ini mudah bilang suatu hal itu halal atau haram. Apalagi tidak memiliki alat atau ilmu untuk mengkaji itu,” kata Sofyan dalam seminar dan bedah buku ‘Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis’, di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (5/11).
Sebagai mantan teroris, pihaknya mengimbau kepada seluruh umat Muslim yang telah berhijrah agar memilih pengajian yang tidak menganut dakwah keras yang cenderung eksklusif. Hal itu selain dapat membentengi diri dari paham radikalisme, para pelaku hijrah juga dapat mengkaji Islam secara runut dan bersumber dari sumber terpercaya dan kompeten.
Di sisi lain, fenomena hijrah saat ini juga harus disikapi pemerintah dengan bijak. Misalnya dengan tidak melontarkan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkup aparatur sipil negara (ASN).
Menurut dia hal itu bisa saja memicu kalangan ekstremis untuk membuat gejolak-gejolak gerakan yang berbahaya. “Bukan tidak mungkin kaum jihadis ini amarahnya terpicu, lalu mereka siapkan ‘pengantin’ dan lain-lain, jadi lebih bahaya,” ungkapnya.