Kamis 31 Oct 2019 05:58 WIB

Imam Bukhari Gagal Paham Bahasa Arab?

Imam Bukhari Gagal Paham Bahasa Arab?

 7 kitab cetakan Shahih Bukhari, dan ada 7 mushaf Quran cetakan dengan 7 varian qira'ah
Foto:

Dalam hal ini, keilmuan Islam tersebut memang memiliki 2 pilar utama, yakni tradisi oral yang berbasis teks, yang kemudian diteguhkan dengan penulisan atau pun penyalinan naskah yang disebut manuskrip. Naskah yang ditulis sang guru disebut "ashl" sedangkan naskah yang ditulis sang murid disebut "nuskhah."

Teks yang diwariskan melalui tradisi oral yang kemudian direkam dalam format manuskrip dalam bentuk "ashl" dan "nuskhah" itu meniscayakan adanya sanad. Jadi, sanad itu adalah gabungan antara tradisi oral dan tradisi tulis.

Para hafidz pasti memiliki jalur resmi dalam pewarisan keilmuan Islam yang diistilahkan sebagai sanad tersebut. Sanad tanpa bukti dokumen tertulis berupa kitab atau pun manuskrip, maka hal itu dinyatakan invalid. Bukankah kita meneliti sebuah sanad dengan cara melacak kredibiltas perawi melalui pembacaan dokumen tertulis dari manuskrip? Apakah mungkin kita meyakini validitas sebuah sanad tanpa melacaknya melalui dokumen tertulis berupa manuskrip?

Validitas dokumen tertulis berupa manuskrip justru semakin meyakinkan peneliti tentang kesahihan pesan yang termaktub di dalamnya, dibanding sekedar pesan (informasi) yang hanya terdokumentasi dalam karya era abad belakangan yang tidak dapat ditelusuri keasliannya melalui konfirmasi dokumen pembanding berupa manuskripnya. Inilah yang disebut sebagai klaim sepihak melalui "dokumen rekayasa."

Tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang otentik bila tidak dapat dibuktikan melalui pembuktian otentisitas manuskrip pada zamannya, karena hal tersebut sangat rawan manipulasi pesan.

Misalnya, bacaan "malikahu" diklaim sebagai bacaan otentik, tetapi bacaan tersebut justru terdokumentasi pada manuskrip yang ditulis pada abad ke-21 M, dan tidak didukung dengan manuskrip pembanding yang ditemukan pada era yang lebih awal. Adanya manipulasi pesan akan lebih rawan lagi bila bacaan yang diklaim sebagai bacaan yang otentik tersebut justru tidak didukung dengan pembuktian data manuskrip kuno manapun.

Bila kita mengkaji manuskrip berdasar pada konteks filologis, manuskrip bisa saja dalam penulisannya terjadi kekeliruan, tetapi validitas suatu pesan yang termaktub dalam manuskrip tersebut dapat dilacak dan dikonfirmasi kebenarannya melalui dokumen pembanding manuskrip-manuskrip lainnya yang melintas batas berbagai zaman. Justru tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu yang tidak didukung dengan berbagai bukti manuskrip yang melintas batas zaman, maka keakuratannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Menurut peneliti dari Salafi, dhomir ه (hu) pada frase الا ملكه juga bisa merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in). Apakah hal ini juga bisa dibenarkan secara kebahasaan? Sebenarnya hal ini juga tidak bisa dibenarkan, karena sangat bermasalah, yakni dhomir ه (hu) merujuk pada makhluk dan bukan merujuk kepada الخالق (Sang Khalik).

Di sini, Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Begitu juga penjelasan Imam Bukhari dengan menambahkan frase الا ملكه tersebut tentu mempunyai maksud yang sama dengan ayat yang sedang dijelaskannya.

Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه yang dituliskannya. Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya dan bukan merujuk pada pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, kita bisa memahami tulisan Imam Bukhari secara kajian kebahasaan berdasar teks yang disusunnya.

Menurut peneliti Salafi memang ada 2 pola gramatika bahasa Arab sebagai alternatif pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., yakni dhomir ه (hu) bisa merujuk kepada Sang Khalik dan juga bisa merujuk pada makhluk. Namun, anggapan yang demikian itu sangat tidak bernalar. Bila dhomir ه (hu) merujuk pada كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk, berarti ini sangat fatal sebab dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu) ternyata merujuk kepada Al-Khaliq. Berarti dalam konteks ini ada inkonsistensi penalaran antara maksud dari ayat Quran tersebut dengan pemahaman kaum Salafi terhadap redaksional teks yang digunakan oleh Imam Bukhari. Jika demikian, hal ini tentu harus kita kritisi. Dan kritikan dalam konteks ini bukanlah sebuah tindakan takfiri.

Kalau Anda masih tetap membantah bahwa dhomir ه (hu) pada kata ملكه tersebut merujuk pada كل شيء, maka seharusnya redaksi teksnya tertulis الا ملكها (illa malikaha) dan bukan tertulis الا ملكه (illa malikahu). Mengapa demikian? Imam Bukhari pasti lebih pakar dan lebih paham bahasa Arab sehingga tidak mungkin Imam Bukhari salah tulis, dan mustahil bila Imam Bukhari tidak bisa membedakan mana tulisan yang benar antara tulisan ملكه (malikahu) dan tulisan ملكها (malikaha).

Mengapa Imam Bukhari tidak menulis ملكها (malikaha)? Sebab Imam Bukhari memahami bahwa dhamir ه (hu) pada term ملكه merujuk kepada ALLAH sebagai الخالق (Sang Pencipta) dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai ciptaan. Qs. Al-Ahqaf 46:25 menyebutkan demikian:

تدمر كل شيء بامر ربها فاصبحوا لا يرى الا مسكنهم

"Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat kediaman mereka."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement