Oleh: Menachem Ali , Dosen Philology, Universitas Airlangga
Imam Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu di antara para ulama hadits yang berkiprah pada abad ke-3 H. Ulama-ulama hadits yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah di antaranya: Yazid bin Harun (w. 206 H), Abu Dawud at-Tayalisi (w. 204 H), Abd ar-Razzaq ibn Hammam (w. 211 H), Abu 'Ashim (w. 212 H), Yahya bin Ma'in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H)/
Juga ada, Muhammad ibn Sa'ad (w. 230 H), Ali al-Madini (w. 234 H), Muhammad bin Abdullah bin Numair (w. 234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H), Abdullah bin Amr al-Qawariri (w. 235 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H), Harun bin Abdullah (w. 243 H), Ahmad bin Shalih (w. 248 H), ad-Darimi (w. 255 H), Abu Zur'ah (w. 264 H), Muslim bin Hajjaj (w. 261 H), Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H), Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H), Abu Zur'ah ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Karya Imam Bukhari yang paling otoritatif adalah kitab Shahih Bukhari dan kitab ini dapat dijadikan sebagai dokumen untuk meriset pola gramatika kebahasaan linguistik Arab yang berlaku pada abad ke-3 H (abad ke-9 M). Apakah pola gramatika bahasa Arab pada era tersebut amat penting untuk diteliti oleh para akademisi? Tentu saja hal itu tergantung bagaimana cara Anda membaca teksnya.
Studi kasus teks yang ditulis oleh Imam Bukhari tentang penggunaan term khusus yang ortografinya tertulis ملكه (mem-lam-kaf-ha') dapat dijadikan sebagai acuan. Redaksi teks lengkapnya sebagai berikut:
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
Berdasar pada gramatika bahasa Arab, umumnya ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada teks tersebut oleh para linguis Arab dibaca dengan versi bacaan "mulkahu", bukan dibaca "malikahu." Para penerjemah menerjemahkan teks tersebut demikian: "Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya, kecuali kekuasan-Nya." Itulah sebabnya, semua terbitan kitab Shahih Bukhari juga menyebutkan versi bacaan "mulkahu", bukan versi bacaan "malikahu."
Namun, menurut peneliti dari kalangan Salafi terkait pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., mereka menyatakan bahwa term tersebut tidak bisa dibaca "mulkahu", tetapi yang benar seharusnya dibaca "malikahu", yang menurutnya lebih tepat diartikan "Pemilik wajah-Nya." Menurutnya, ortografi tulisan yang dibaca الا ملكه (illa malikahu) itu maksudnya sama dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi).
Argumen peneliti gramatika bahasa Arab abad ke-9 M. tersebut sangat penting dikritisi, terutama dalam konteks kajian linguistik Arab. Apakah pemahaman gramatika bahasa Arab yang diklaim sebagai ciri khas linguistik Arab abad ke-9 itu dapat dibenarkan secara ilmiah? Apakah dhamir ه (hu) pada term khusus ملكه yang dibaca "malikahu" itu merujuk pada term وجه (wajh) sebagaimana maksud redaksional teks asli yang ditulis oleh Imam Bukhari?
Sang peneliti bermaksud menjelaskan bahwa redaksi teks yang tertulis الا ملكه dalam tulisan Imam Bukhari itu maksudnya sejajar dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi). Menurut saya, tentu saja hal ini merupakan pemahaman bahasa Arab yang "ungrammatical" dan tidak umum.
Ekspresi gramatika bahasa Arab yang dipakai dalam kitab Shahih Bukhari itu sudah sangat jelas. Justru term وجه (wajh) itu seharusnya sejajar dengan term ملك (mulk) sebagaimana ekspresi kebahasaan yang termaktub dalam tulisan asli Imam Bukhari, karena term ملك (mulk) itu memang berfungsi sebagai penjelasan atas term وجه (wajh). Alasannya sederhana, Imam Bukhari memang bermaksud menjelaskan hal yang demikian.
Imam Bukhari sebenarnya menggunakan metode ta'wil dalam pembahasan ayat yang termaktub dalam al-Qur'an. Pertama, penafsiran Qs. Al-Qashshash 28:88. Imam Bukhari menjelaskan bahwa makna term وجه (wajh) tersebut adalah ملك (mulk); artinya "kekuasaan" atau "kerajaan". Term وجهه (wajah-Nya) dita'wil menjadi ملكه (kekuasaan-Nya).
Ta'wil ayat ini juga telah disebutkan dan dijelaskan oleh ulama ahli hadits abad ke-2 H., yakni Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) dalam kitab Tafsir-nya. Dengan demikian, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, maka terkait ayat Qs. Al-Qashshash 28:88, pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) ternyata sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H).
Kedua ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya dan dikenal sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-457. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-2 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Sufyan ats-Tsauri? Biografi dan kredibiltas Sufyan ats-Tsauri sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab. Bila Anda masih ragu tentang kredibilitas Sufyan ats-Tsauri, silakan Anda mencari jawabannya sendiri.
Kedua, penafsiran Qs. Hud 11:56. Ayat ini juga dita'wil oleh Imam Bukhari dalam makna ملكه (kerajaan-Nya) dan سلطانه (kekuasaan-Nya). Inilah fakta tekstual penggunaan metode ta'wil yang dapat kita baca dalam kitab Shahih Bukhari berdasar pada penggunaan term yang sama, ملكه yang bermakna "kekuasaan-Nya."
Bila term ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada kedua teks hadits itu dibaca "mulkahu" dan "mulkihi" (lit. "kekuasaan-Nya") sebagaimana yang tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, maka memang kedua teks tersebut menunjukkan adanya konsistensi nalar Imam Bukhari.
Namun, bila yang pertama dibaca "malikahu" dan yang kedua justru dibaca "mulkihi" maka hal ini menandakan adanya inkonsistensi nalar Imam Bukhari. Tentu saja, hal ini sangat mustahil bila perbedaan bacaan terkait ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ya') yang sama persis itu justru disandarkan kepada pemahaman Imam Bukhari. Dengan kata lain, ortografi tulisan (kitabah) Imam Bukhari terkait term ملكه itu pasti sama antara bacaan (qira'ah) dan maksudnya.