Senin 28 Oct 2019 05:00 WIB

Sampai Kapankah Seseorang Boleh Menjamak Shalat Wajib?

Para ulama berbeda pendapat batas menjamak shalat.

Shalat jamaah (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Shalat jamaah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Di antara keringanan yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslimin adalah dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, dibolehkan bagi umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (menurut jumhur ulama, perjalanan lebih kurang 83 km) untuk mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Allah SWT berfirman, “Dan apabila ka mu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu)...” (QS an-Nisa [4]: 101).

Bahkan, menurut pendapat ulama yang kuat, mengqashar shalat ketika dalam perjalanan ini hukumnya adalah sunah muakkadah karena Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya. Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Saya sering menemani Rasulullah SAW dan ketika dalam perjalanan beliau tidak pernah menambah shalat fardhunya dari dua rakaat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga

Juga dibolehkan bagi umat Islam ketika dalam perjalanan untuk men jama dua shalat untuk dilakukan pada satu waktu, baik itu jamak takdim atau jamak takhir. Banyak sekali hadis Nabi SAW yang menjelaskan tentang kebo leh an untuk menjama shalat ketika se dang dalam perjalanan ini, di antara nya: Dari Salim, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), ia berkata, “Adalah Nabi SAW menjama shalat Maghrib dan Isya ketika beliau di tengah perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW biasa menjama antara Zuhur dan Ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjama antara Maghrib dan Isya.” (HR Bukhari).

Menurut jumhur ulama, keringanan menjama shalat ketika dalam perjalanan itu tidak hanya sewaktu dalam perjalanan saja, tetapi juga ketika singgah di suatu tempat. Selama seseorang masih dalam perjalanannya, maka ia boleh mengqashar dan menjamak shalatnya berapa lama pun ia dalam perjalanan.

Begitu juga, jika seseorang me netap di suatu tempat untuk melaku kan atau mengurus keperluannya, tetapi dia tidak meniatkan dan tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di tempat tersebut, maka jumhur ulama dari ka langan Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan sebagian ulama Mazhab Syafi’i berpendapat ia masih dianggap dalam perjalanan. Adapun jika seseorang berniat untuk menetap beberapa waktu di suatu tempat, seperti untuk wisata, tugas kerja, dan belajar, maka jumhur ulama berpendapat bahwa berakhirlah hukum safarnya dan ia harus melakukan ibadah-ibadahnya sebagaimana ibadah orang yang menetap.

Jumhur ulama dari kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i dan salah satu riwayat dari Mazhab Hanbali berpenda pat, jika seseorang berniat menetap di suatu tempat selama empat hari, maka habislah masa keringanan baginya untuk mengqashar dan menjama shalat.

Mazhab Hambali berpendapat, jika ia berniat menetap lebih daripada 20 kali shalat fardu (lebih dari empat hari), maka ia mesti menyempurnakan shalatnya dan melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan, menurut Mazhab Hanafi, jika seseorang berniat menetap selama 15 hari di suatu tempat, maka habislah masa safarnya dan ia harus melaksanakan kewajiban shalatnya sebagaimana orang yang menetap.

Setiap pendapat ulama ini ada dalilnya dan perbedaan pendapat mengenai hal ini adalah suatu perbedaan pendapat yang kuat. Tentunya yang lebih selamat adalah pendapat jumhur ulama bahwa yang berniat menetap empat hari atau lebih di suatu tempat, maka hilanglah keringanan seorang musafir baginya. Dan ia harus melaksanakan ibadahibadahnya sebagaimana orang-orang yang meneta

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement