Senin 24 Mar 2025 20:03 WIB

Seluk-Beluk Shalat di Perjalanan: Bolehkah Tayamum dengan 'Debu Mikroskopis'?

Sebaiknya, musafir menepi dan turun dari kendaraan untuk bisa shalat wajib.

Rep: Fuji EP/ Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Mudik. Dalam perjalanan, seorang Muslim tetap harus mendirikan shalat wajib.
Foto: Republika/Prayogi
ILUSTRASI Mudik. Dalam perjalanan, seorang Muslim tetap harus mendirikan shalat wajib.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Shalat lima waktu adalah sebuah kewajiban bagi Muslim. Saat sedang berada dalam kendaraan, bagaimana cara melaksanakan shalat? Apakah sebaiknya seorang musafir menjamak shalat atau melakukan ibadah itu selagi di dalam kendaraan?

Seperti dilansir dari laman Rumah Fiqih, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas kendaraan.

Baca Juga

Ada yang menyatakan, Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan shalat wajib lima waktu---apakah itu subuh, zuhur, ashar, maghrib atau isya---di atas kendaraan. Bagaimanapun, Rasulullah SAW memang pernah shalat sunah selagi di kendaraan. Adapun ketika hendak shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah dengan tetap menghadap kiblat.

"Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke arah mana saja (unta itu berjalan), memang benar. Namun, ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunah, bukan yang wajib," terang Ustaz Ahmad Sarwat.

Dari Amir bin Rabi'ah, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya (shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun, beliau tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu" (Muttafaq 'alaihi).

Hadis ini, menurut Imam Nawawi, al-Iraqi, al-Hafidz dan lainnya, dikatakan sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunah di atas kendaraan dalam perjalanan yang panjang. Kalau konteksnya seseorang bukan dalam perjalanan panjang, maka alim ulama berbeda pendapat.

Imam Malik memandang, bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan meringkas jumlah rakaat (qashar) shalat, maka shalat sunah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.

Imam Nawawi mengatakan, shalat wajib tidak boleh lepas dari menghadap kiblat. Bila shalat di atas kendaraan, maka kemungkinan besar seseorang berganti-ganti arah karena kendaraan yang ia tumpangi berbelok-belok. Alhasil, shalat yang dilakukannya itu menjadi batal. Maka dari itu, para ulama sepakat bahwa tidak boleh melakukan shalat fardhu di atas kendaraan.

Hal itu dengan perkecualian, yakni bila dapat dipastikan bahwa seseorang tetap menghadap kiblat walaupun kendaraan yang ditumpanginya terus melaju. Demikian pula, harus bisa dipastikan bahwa orang tersebut dapat berdiri, melakukan rukuk dan sujud secara benar. Bila itu tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak dapat dibenarkan. Kalangan mazhab Syafii, termasuk Imam Nawawi, memegang pendapat ini.

Bila seseorang hanya mampu menumpangi kendaraan yang tak memungkinkannya untuk shalat fardhu dengan menghadap kiblat serta berdiri, rukuk dan sujud secara normal, maka dia tetap harus shalat sebisanya. Akan tetapi, ia berkewajiban melakukan i'aadah, yakni mengulangi shalat ketika kondisinya sudah kembali normal.

photo
Jenis Perjalanan yang Boleh Jamak dan Qashar - (Republika.co.id)

Lebih baik jamak dan qashar

Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan, umumnya sikap yang paling bijak dan praktis adalah keluar dari ikhtilaf, yakni perhatikan konteks situasi: apakah masih memungkinkan untuk menepikan kendaraan sebentar dan kemudian shalat? Sebab, perkara yang sama sekali tidak ada ikhtilafnya adalah shalat jamak dan qashar.

Saat berada dalam perjalanan, misalnya, begitu masuk waktu zuhur, maka musafir hendaknya menepi sebentar untuk melakukan shalat zuhur dan jamak ashar. Begitu pula dengan menjamak shalat isya ke dalam waktu maghrib.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement