Rabu 09 Oct 2019 08:56 WIB

Soal Muslim Uighur, AS Tambah Daftar Hitam Perusahaan Cina

Entitas bisnis tersebut dianggap melanggar HAM

Rep: Dwina Agustin, Lintar Satria/ Red: Muhammad Subarkah
Muslim di Uighur (ilustrasi)
Foto: VOA
Muslim di Uighur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) menambah 28 perusahaan dan lembaga di Republik Rakyat Cina (RRC) dalam daftar hitam perdagangan. Alasannya adalah perlakuan Beijing terhadap Muslim Uighur dan minoritas etnis Muslim lainnya.

Melalui pengajuan Departemen Perdagangan, Biro Keamanan Publik Pemerintah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dan 19 agen pemerintah serta delapan perusahaan komersial ditambahkan dalam Daftar Entitas. Pengumuman ini resmi disampaikan pada Senin (7/10) waktu setempat.

Perusahaan-perusahan Cina yang masuk daftar tersebut, seperti Hikvision, Zhejiang Dahua Technology, IFLYTEK Co, Xiamen Meiya Pico Information Co, dan Yixin Science and Technology Co. Sementara, lembaga pemerintahan daerah, seperti Sekolah Tinggi Kepolisian Xinjiang.

"Entitas tersebut telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran dalam pelaksanaan kampanye penindasan Cina, penahanan sewenang-wenang secara massal, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap Uighur, Kazakh, dan anggota lain dari kelompok minoritas Muslim," bunyi pernyataan Departemen Perdagangan, dikutip dari the Guardian, kemarin.

“Pemerintah AS tak bisa dan tak akan menoleransi penindasan brutal etnis minoritas di Cina,” kata Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dilansir the New York Times, kemarin.

Hikvision dan Dahua Technology merupakan dua produsen terbesar produk-produk video pemantauan. Selain itu, masuk juga dalam daftar perusahaan kecerdasan buatan terkemuka, seperti SenseTime Group Ltd dan Megvii Technology Ltd yang dimodali oleh Alibaba.

Pejabat AS mengatakan, pengumuman itu tidak terkait dengan dimulainya kembali pembicaraan perdagangan pekan ini dengan Cina. Perusahaan dan lembaga yag ditambahkan ke Daftar Entitas tidak diperbolehkan membeli suku cadang dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan Pemerintah AS.

Pendiri perusahaan riset video pengawasan IPVM John Honovich mengatakan, Hikvision dan Dahua sama-sama menggunakan perangkat keras yang dipasok Intel Corp, Nvidia Corp, Ambarella Inc, Western Digital, dan Seagate Technology. Dengan keputusan daftar hitam ini, berdampak sangat efektif terhadap perusahaan-perusahaan Cina.

Saham di Ambarella turun 12 persen dalam perdagangan setelah kabar tentang penambahan Daftar Entitas diumumkan. Sedangkan, keuntungan yang diperoleh perusahaan Hikvision diperkirakan bisa turun sebesar 10 persen menurut firma riset dan teknologi Sanford Bernstein.

Departemen Perdagangan AS sebelumnya menambahkan Huawei Technologies Co dan lebih dari 100 perusahaan terafiliasi ke Daftar Entitas. Keputusan ini membuat banyak perusahan dan pedagang kesulitan karena mendapatkan pasokan dari perusahaan teknologi itu.

Huawei berkali-kali membantah perusahan dikendalikan oleh Pemerintah Cina, militer, atau dinas intelijen. Mereka telah mengajukan gugatan terhadap pembatasan Pemerintah AS.

Pada April, kelompok anggota parlemen AS mendesak langkah melawan perusahaan-perusahaan Cina yang disebutnya terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Mereka secara khusus mengutip Hikvision dan Dahua merupakan perusahaan yang perlu masuk daftar hitam.

Awal tahun ini, serangkaian database yang digunakan untuk melacak populasi Muslim Uighur di Xinjiang telah bocor di internet. Database itu diduga dimiliki salah satu perusahaan di Cina yang menjadi alat Pemerintah Cina bernama SenseNets.

Basis data itu diketahui mengandalkan pengenalan wajah. Dilansir ZDNet, seorang peneliti keamanan Belanda, Victor Gevers, mengatakan bahwa basis data itu, menurut situs webnya, menyediakan analisis kerumunan berbasis video dan teknologi pengenalan wajah. Gevers menemukan database MongoDB SenseNets di internet tanpa autentikasi.

Database berisi informasi tentang 2.565.724 pengguna, bersama dengan koordinat GPS masing-masing. Data itu meliputi informasi sangat perinci dan sensitif yang biasanya akan ditemukan seseorang pada kartu identitas, seperti nama, nomor kartu ID, tanggal penerbitan kartu ID, tanggal kedaluwarsa kartu ID, jenis kelamin, kebangsaan, alamat rumah, tanggal lahir, foto, dan pekerjaan.

Kepolisian Cina juga dilaporkan menggunakan aplikasi telepon pintar untuk mengumpulkan data 13 juta warga minoritas Uighur dan Muslim Turki lainnya di Provinsi Xinjiang. Organisasi kemanusiaan Human Rights Watch (HRW) mengatakan, aplikasi tersebut dikenal sebagai Integrated Joint Operations Platform (IJOP).

Aplikasi itu mengumpulkan informasi tinggi dan berat badan untuk disesuaikan dengan teknologi pengenalan wajah. Laporan yang dirilis HWR itu menyebutkan, pihak berwenang Xinjiang mengawasi dengan ketat 36 kategori perilaku.

Kategori-kategori tersebut, antara lain, sosialisasi antartetangga, menolak menggunakan pintu depan, dan tidak menggunakan telepon pintar. Rajin menyumbang ke masjid dan menggunakan listrik secara "tidak normal" juga termasuk ke dalam kategori perilaku yang diawasi.

"Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pola dan memprediksi kehidupan sehari-hari dan perlawanan dari populasi ini. Dan, pada akhirnya untuk merekayasa dan mengontrol realitas," kata HRW dalam laporan mereka pada Mei lalu.

HRW bekerja sama dengan perusahaan keamanan siber Jerman Cure53 untuk melakukan rekayasa terbalik aplikasi tersebut untuk mengetahui yang dilakukan Pemerintah Cina di Xinjiang. "Beijing telah mengumpulkan sampel DNA, sidik jari, selaput pelangi mata, dan golongan darah semua warga yang berusia antara 12 sampai 65 tahun," kata HRW.

Pemerintah Cina juga telah mengumpulkan sampel suara warga Uighur. Peneliti senior Cina HRW Maya Wang mengatakan, aplikasi itu menunjukkan polisi Xinjiang menggunakan cara yang ilegal dalam mengumpulkan informasi untuk menelusuri perilaku warga Uighur.

"Sistem petunjuk ini memberikan petunjuk mikro kepada pihak berwenang, mendorong penyelidikan, yang akan diikuti penyelidikan terhadap mereka yang ditahan di kamp reedukasi politik di Xinjiang," kata Wang, seperti dikutip ABC News.

Pemerintah Cina belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait daftar hitam kemarin. Kendati demikian, mereka berkali-kali menekankan bahwa tindakan di Uighur untuk mencegah aksi terorisme di wilayah itu. Cina mengklaim telah menangkap hampir 13 ribu teroris di Provinsi Xinjiang sejak 2014. Hal itu disampaikan Beijing melalui buku putih yang menguraikan tentang langkah-langkah deradikalisasi di wilayah tersebut.

"Sejak 2014 (otoritas) Xinjiang telah menghancurkan 1.588 geng kekerasan dan teroris, menangkap 12.995 teroris, menyita 2.052 alat peledak, menghukum 30.645 orang karena 4.858 kegiatan keagamaan ilegal, dan mengamankan 345.229 salinan materi agama ilegal," tulis Pemerintah Cina dalam buku putihnya. n ap ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement