Senin 07 Oct 2019 04:33 WIB

Indonesia Masa Kini dan Imajinasi Kekuasaan Jawa

Benarkah Indonesia sudah mempunyai budaya kekuasaan baru?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Mengapa orang Jawa lebih suka kisah Mahabarata dari pada Ramayana? Pertanyaan ini sudah lama dirasakan, utamanya ketika melihat pertunjukan wayang yang kini lagi hits, Ki Seno Nugroho dari Yogyakarta. Dalang kontemporer lulusan ISI Yogyakarta ini mampu membuat pertunjukan wayang terasa moderen alias ‘gak jadul’.  Ribuan orang selaku menyesaki pagelarannya sedangkan ribuan orang lain dari berbagai tempat dari dalam dan luar negeri menontonnya melalui tayangan streaming di internet.

Jadwal mangung dalang ini pun sangat padat. Kata teman saya di Yogyakarta, hampir sebulan tak ada malam yang lowong atas pertunjukannya. “Bahkan dalam sebulan dia bisa pentas 36 kali,’’ katanya berseloroh.

Dari semua lakon yang dimainkan Ki Seno hampir semuanya lakon berindung kepada kisah Maharabata yang induknya berasal dari tanah India. Cerita dari epos Ramayana sangat jarang dimainkan. Lakon bertema ini sempat saya tonton dahulu sekitar tahun awal tahun 1998 lewat pertunjukan Ki Manteb Sudarsono kala mentas di Taman Mini Indonesia Indah. Lakonnya kala itu ‘Rama Tambak’ yang bercerita tentang bala tentara kera Rama Wijaya yang berusaha membendung lauatan untuk membuat pulau buatan sebagai cara agar bisa sampai ke kerajaannya Rahwana. Kerajaan Rama, Ayodya, di kisahkan lokasinya berada di daratan Benua Asia, sedangkan Kerajaan Rahwama, Alengka, berada terpisah laut, yakni di Sri Lanka.

Dan ketika soal ‘kesukaan’ orang Jawa kepada Mahabarata ditanyakan kepada pengamat sosial Fachri Ali dia menjawabnya tak tahu persis alasannya. Namun dia menjawab pendek epos Mahabarata sangat berpengaruh pada imajinasi orang dan kekuasaan Jawa.’’Langgam atau corak kekuasaanya memang dari sana,’’ ujarnya.

Untunglah di tengah kegaluan ingatan ini tiba-tiba melayang pada buku tipis berwarna coklat yang bertajuk ‘Etika Jawa’ dari pakar filsafat Romo Frans Magnis Suseno. Buku terbitan Gramedia ini terbit sudah lama semenjak tahun 1980-an. Tapi ide tetap terasa segar sampai sekarang.

Dalam buku itu memang ada jawaban atas pertanyaan tentang selera orang Jawa tersebut. Menurut Frans Magnis, orang Jawa memang lebih menyukai epos Mahabarata dari pada Ramayana karena Mahabarata itu tidak bersifat hitam putih. Sedangkan Ramayana tokohnya dipersepsikan dengan hitam putih. Rama sosok suci tanpa cela dan Rahmawa total dipersetankan.

‘’Beda dengan Ramayana, dalam Mahabarta semua tokoh tak ada yang suci. Semua punya aib dan cela. Kurawa tak kelam semuanya dan Pandawa tak suci semuanya. Ini beda dengan Ramayana, di mana sosok Ramawijaya selalu suci dan benar, Rahwawana selalu jahat, tertuduh, tukang curi isteri orang, dan beringas,’’ begitu rangkuman pendek penggalan buku ‘Etika Jawa’ yang masih bisa diingat.

Contoh ini kemudian muncul pada lakon teater terbaru bertajuk ‘Sengkuni’ karya Emha Ainun Nadjib yang dipentaskan beberapa waktu lalu. Emha dalam lakon teater itu malah mengguat bahwa pakar adu domba yang terlanjur ditokohkan pada tokoh imajiner bernama Sengkuni sebenarnya tak sepenuhnya jahat. Bahkan, sebenarnya Sengkuni berhak menjadi lebih jahat dari semua orang sebab dia pada masa mudanya sangat menderita dan nista hidupnya. Ini karena Sengkuni sejak lahir bukan anak orang jelata. Dia bahkan sebenarnya seorang calon raja, yakni putera mahkota. Namun, pada sautu waktu kerajaannya hancur lebar diinvasi oleh kerajaan Astinapira. Tak hanya diserbu, seluruh keluarganya pun dibantai tanpa ampun.

Dan cara membantainya pun sangat sadis. Semua keluarga Sengkuni termasuk ibu dan bapaknya dijebloskan ke dalam bui. Selama dipenjara mereka hanya diberi makan dengan jatah hanya sebutir nasi. Akibatnya, demi mempertahankan kelangsungan wangsanya, maka Sengkuni yang diputuskan oleh keluarganya harus tetap hidup, maka ayah, ibu, dan seluruh keluarganya merelakan dirinya di bunuh untuk di makan dagingnya sekerat demi sekerat oleh Sengkuni agar tetap bernyawa.

‘’Jadi bayangkan itu seorang Sengkuni harus memakan ayah ibu dan keluarganya yang jumlahnya 100 orang itu agar tetap hidup. Sengkuni jelas tersiksa sekali. Kalau tidak kuat dia bisa gila atau menjadi teroris yang paling ganas. Tapi ternyata kelakuannya masih terkontrol. Dia tetap tak terlalu jahat. Dia hanya menjadi tokoh pengadu domba saja demi mempertahankan diri dan adiknya perempuannya yang kala itu tidak ikut masuk penjara, namun dijadikan permaisuri Raja Astina Pura, Duryudana. Jadi Sengkuni ternyata masih punya kemuliaan,’’ kata Emha dalam tayangan video yang tersebar masif ke publik melalui Youtube.

Memang di sini lain, budaya kekuasaan Jawa mirip kisah Mahabarata. Bahkan sosok ideal satria di kisah Mahabarata sering dijadian acuan. Contoh sederhananya adalah sosok ideal dari seorang satria, di mana ketika muda mungkin masih ‘berangasan’, tapi ketika tua begitu tenang (saleh) perilakunya. Sosok nyata ini ada pada kisah diri perampok yang merupakan anak bangsawan Tuban bernama Lokajaya atau Raden Sahid. Namun setelah tua dan bertemu dengan Sunan Bonang, dia berubah sosoknya menjadi ‘orang paripurna’. Sosok itu kemudian berganti nama dan menjelma menjadi Sunan Kalijaga. Saking hebatnya, meski melintasi zaman yang panjang, dalam Badan Tanah Jawa dia diidentikan sebagai ‘tetua’ atau sumber ilham acuan nasihat bagi seluruh penguasa kerajaan dalam wangsa Mataram Jawa.

Mendiang Nurcholish Madjid kerap menjadikan contoh kisah tersebut ketika mengisahan model penguasa Jawa. Kala itu dia mengkaitkan sosok pemimpin Orde Baru, Soeharto, yang bergerak dari sosok ‘Islamis minimalis’ (abangan) menjadi sosok Islamis maksimalis’ (putihan’). Cak Nur mengatakan apa yang dijalani Pak Harto itu biasa bagi orang Jawa. Lazimnya ketika tua penguasa Jawa jadi ‘panembahan’ (orang yang perlu disembah/hargai) atau disebut 'eyang' (dahyang/hyang). Apalagi semenjak awal imajinasi kekuasaan Jawa itu sangat tinggi yakni seorang penguasa adalah seligus dewa (dewa raja).

Nah, uniknya kesenangan akan Mahabarata dalam lakon wayang yang populer ditonton pada pertunjukan Ki Seno dan berbagai dalang lainnya, sifatnya cerita gubahan (carangan). Kisah-kisah pokok (pakem) meski masih ada menjadi hal yang tak lazim dan dihindari karena banyak yang percaya bila mementaskan cerita itu hanya akan mengundang bala bencana.

Maka saat ini muncullah berbagai kisah ‘carangan yang baru’. Bila dulu hanya muncul kisah carangan ala ‘Petruk Dari Ratu (Petruk Menjadi Raja) atau Semar Mbangun Kahyangan (Semar Membangun Kerajaan Para Dewa), kisah-kisah carangan baru kini bermunculan. Ki Seno yang sangat piawai memainkan tokoh Punokawan Bagong memainkan kisah carangan itu seperti Bagong Kembar, Bagong Gugat Kahyangan, Petruk Mantu, Bagong Duta, Wisanggeni Mantu dan lainnya.

Nah, ketika lagi-lagi soal lakon ‘carangan’ Mahabarata  yang kini digemari orang Jawa masa kini ditanyakan kepada Fachry Ali, dia menjawab dengan ringan tapi serius. Katanya, Jawa kali ini sedang berubah. Jawa ‘semangkin’ (semakin) tak mau sesuatu yang keadaan hitam putih, benar-salah secara kontras. ‘Mereka senang yang serba ‘abu-abu’,’’ ujarnya.

Benarkah begitu? Jawabnya bila ditelusuri hal ini masih ‘dapat diperdebatkan’. Jawa yang menurut DN Aidit dalam Film G30S PKI sebagai ‘konci’ Indonesia belum beranjak jauh. Hal ini makin aneh bila dikaitkan dengan kekuasaan Indonesia moderen yang mau tak mau terimbas kebudayaan dan kekuasaan Jawa. Polarisasi akut dua bagian ‘Pancasila dan anti Pancasila (khilafah), radikal dan toleran, NKRI dan separatis, begitu menjadi-jadi serta seolah tak ada jalan ketiga (third way) yang lain.

Akibatnya, semua terasa begitu terbelah. Kritik kerap dianggap fitnah. Kabar baik dianggap hoaks. Pujian dan makian bercampur-campur di ruang publik masa kini yakni media sosial.

Tapi apakah hanya terjadi di masa kini? Jawabnya pun tidak juga. Di akhir pemerintahan Soekarno, Soe Hok Gie (juga Aidit) dahulu pun kerap terang-terangan menyindirnya kebanalan suasana. Gaya bicara Sukarno ketika berpidato yang  terpengaruh HOS Cokro Aminoto dan jumlah isterinya yang lebih dari satu, membuat Gie menanggap Soekarno berlakon layaknya raja Jawa. Dan setiap Soekarno berpidato menggelora dia menyebutnya bila Soekarno tengah mendalang.’’Dia lagi merasa dirinya sebagai raja Jawa,’’ begitu ungkap Soe Hok Gie.

Jadi benarkan imaji Indonesia dan kekuasaan Jawa sudah berubah. Wallahu’alam bissawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement