REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tantangan penyebaran Islam rahmatan lil alamin di era digital sekarang ini makin besar. Di berbagai platform media sosial (medsos), begitu banyak konten yang bermuatan paham keagamaan radikal sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi para penggunanya yang sebagian besar adalah anak muda.
Akademisi dari UIN Walisongo Semarang, Dr Muhyar Fanani, mengatakan, aspek pendidikan amat penting sehingga ini harus diberi secara luas kepada para pemuda-pemudi agar terhindar dari paham ekstrem kanan dan kiri. Untuk berada di tengah alias moderat, maka harus memahami dan mengenali mana yang ekstrem kanan dan kiri.
Muhyar mengatakan sepakat atas pemberlakuan Undang-undang ITE. Menurutnya, perlu ada penegakan hukum atas paham-paham keagamaan yang radikal ataupun ekstrem dan menimbulkan kebencian terhadap sesama.
"UU ITE itu sudah betul. Negara harus membatasi orang jahat menggunakan alat yang bernama medsos ini, kalau tak ingin kecolongan. Kaum agamawan juga men-support negara agar membatasi gerakan orang jahat ini," tuturnya di sela-sela Annual Islamic Conference and Islamic Studies (AICIS) 2019 di Jakarta, Kamis (3/10).
Karena itu, menurut Muhyar, penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, harus melibatkan para tokoh agama dalam menyelidiki suatu tindakan yang melanggar UU ITE. Sebab lanjut dia, polisi tentu sulit memastikan suatu perbuatan sebagai bentuk pelanggaran hukum jika terkait paham keagamaan.
"Polisi kita itu harus didampingi para tokoh agama, karena polisi, begitu menyangkut ustaz yang membawa kitab suci, itu ragu-ragu. Karena polisi enggak punya kapasitas untuk mengkaji itu, misal ini ustaz gadungan atau apa," tutur Wakil Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang itu.
Di sisi lain, Muhyar mengakui, di kalangan ulama sendiri belum memiliki kesamaan pandangan. "Ada versi 212, NU, Muhammadiyah, maka di versi-versi ini kita masih problem," kata doktor filsafat hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Muhyar melanjutkan, profesor hukum dari Sekolah Hukum UCLA Universitas California, AS, Khalid Abou el-Fadl, mengkritik persoalan yang terjadi seperti saat ini. "Dengan tidak adanya forum ulama yang disepakati, sehingga semua orang mudah men-declare kelompoknya menjadi ulama," jelasnya.
Muhyar kemudian menggunakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai contoh. Siapapun yang lulus sarjana kedokteran tidak bisa sembarangan mendeklarasikan dirinya dokter karena ketentuannya diatur oleh IDI. Selain itu, ketika terjadi malpraktik oleh seorang dokter, IDI bisa memberi sanksi seperti pelarangan membuka praktik.
Menurut Muhyar, MUI sebetulnya bisa berperan seperti IDI itu. "Maka keulamaan itu, MUI, sebenarnya bisa masuk untuk mengklarifikasi apabila ada seorang ulama yang melanggar kode etik keulamaan," ujarnya.
Namun, Muhyar mengakui, kode etik tersebut tidak ada. MUI pernah berdiskusi untuk menyertifikasi ulama dan mubaligh tetapi akhirnya tidak jadi.
"Kemudian dialihkan ke Kemenag, lalu Kemenag yang dikritik, Pertanyaannya adalah siapa yang mengkritik,ya orang yang selama ini tidak peduli dengan kode etik ulama itu," ucapnya.
Dia menjelaskan, problem keulamaan ini menjadi problem umat Islam di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Di Mesir juga begitu, Arab Saudi juga.
“Ini nanti urusannya menguat menjadi keulamaan dan kekuasaan. Penguasa negara mendukung ulama yang mana yang boleh diberi otoritas keulamaan. Di suatu negara pasti beda-beda," jelasnya.
Kendati demikian, hal ini sebetulnya masalah klasik, dan telah terjadi pada 830 Masehi, ketika al-Makmun menjadi pemimpin pada Dinasti Abbasiyah. Saat itu paham Muktazilah berkembang pesat dan al-Makmun sepaham dengannya.
"Saat itu ada peristiwa yang disebut mihnah. Mihnah ini, jadi ulama yang tidak sesuai dengan al-Makmun, itu dihabisi," imbuhnya.
Bagi Muhyar, ulama adalah sosok yang didukung rekam jejak kebaikan yang tidak diragukan lagi. Misalnya, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari. Tidak ada sesuatu yang memberatkan kedua tokoh tersebut untuk disebut sebagai ulama. (umar mukhtar)