REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Ibnu Batutah, Sultan Suamdera Pasai itu sangat ramah. Rombongannya diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, sang sultan meminjamkan salah satu kudanya untuk rombongan Batutah.
Artinya kerajaan Islam pertama di Indonesia ini menganut mazhab Syafi'i. Itu buktinya kitab yang ditulis Ibnu Batutah, ucap Bastian. Malik Az-Zahir merupakan raja kedua dari kerajaan Samudera Pasai, yaitu kerajaan Islam pertama di nusantara yang rakyatnya memiliki semangat mempe lajari agama Islam. Sedangkan raja per tama Samudera Pasai adalah Malik Al-Shalih.
Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai yang ditulis setelah 1350 Masehi, Syekh Ismail datang dnegan kapal dari Makkah lewat Malabar ke Pasai, di sinilah ia membuat penguasa setempat yang bernama Merah Silau masuk Islam. Kemudian Merah Silau mengambil gelar Malik Al- Shalih yang kemudian wafat pada 698 Hijriah atau 1297 Masehi.
Dijelaskan di situ bagaimana mereka di situ semangat belajar agama dan semua itu bermazhab Syafi'i, itu jarang yang menulis itu, kata Bastian. Di cerita yang lain, Ibnu Batutah juga berkunjung ke pulau Jawa dan bertemu dengan Raja yang kafir yang juga sangat memuliakan rombongan Ibnu Batutah sebagai tamu yang datang dari jauh.
Ibnu Batutah menulis, sama dengan Raja Malik Az-Zahir, raja di kerajaan kafir tersebut juga memiliki aturan agar tamu baru dapat menemui raja setelah tiga hari tinggal di sana, dan di hari itu pula tamu boleh meninggalkan kerajaan.
Selama tiga hari di Kearajaan Pasai, Ibnu Batutah ditempatkan lebih dulu di rumah khusus tamu. Batutah dan rombongan pun akhirnya bertemu dengan Sultan Malik az-Zahir pada hari Jumat. Mereka bertemu dan berbincang di sebuah masjid setelah shalat Jumat.
Setelah pertemuan itu Sultan Malik pun meninggalkan masjid. Saat meninggalkan masjid, menurut Ibnu Batutah, Sul tan Malik disediakan gajah dan sederetan kuda. Biasanya Sultan menunggang gajah, namun saat kunjungan Ibnu Batutah itu Sultan lebih memilih menunggang kuda bersama tamunya.
Ibnu Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Ibnu Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada Sultan. Dia (Sultan Malik) menyediakan perahu untuk kami, mengantar kami, dan memberi bekal banyak kepada kami. Semoga Tuhan membalas dia, kata Ibnu Batutah seperti dijelaskan buku The Indonesia Reader, History, Culture, Politics dengan editor Tineke Hellwig dan Eric Tagliacozzo.
Setelah meninggalkan karya legendaris itu, Ibnu Batutah akhirnya wafat pada 1368 di kota kelahirannya, Tangier, Maroko. Hingga kini, nama Ibnu Batutah sangat terkenal tak hanya di kalangan Muslimin, tapi juga sejarawan Barat. Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim di abad ke-14 yang telah memberikan banyak pengetahuan dan pelajaran melalui perjalanannya tersebut.