REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak meninggalkan Tangier untuk pergi ke Tanah Suci pada 14 Juni 1325, Ibnu Batuta tak kembali lagi ke kota kelahirannya itu hingga 24 tahun lamanya. Berawal dengan ke Tanah Suci, ia kemudian melakukan rihlah (perjalanan) keliling dunia dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, Cina, Asia Timur, hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Jarak perjalanan Ibnu Batuta ini melampaui rekor para penjelajah Eropa di masa itu. Seorang sejarawan barat, George Sarton, bahkan mengatakan, perjalanan Ibnu Batutah melampaui jarak perjalanan Marcopolo. Ibnu Batutah telah melakukan perjalanan darat dan laut sejauh 120 ribu kilometer. Jarak tersebut merupakan pencapaian seorang penjelajah yang luar bisa dan tak tertandingi saat itu.
Setelah mengarungi perjalanan yang panjang, Ibnu Batuta kembali ke Maroko. Ia menjadi seorang hakim di negerinya sendiri. Saat bertemu Sultan Maroko, Ibnu Batutah diminta mengisahkan perjalanannya itu. Seorang juru tulis sultan pun diutus untuk membantunya mendokumentasikan perjalanan yang sarat pengalaman dan pengetahuan tentang dunia Islam tersebut.
Maka, ditulislah perjalanan selama hampir 30 tahun Ibnu Batutah oleh Ibnu Juzay, sang juru tulis Maroko. Judul asli buku tersebut Nuzzhar fi Ghara'ib al-Amshar wa 'Aja'ib al-Asfar atau persembahan mengenai kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan.
Buku yang sering kali disebut “Rihlah Ibnu Batutah” tersebut kemudian menjadi legendaris dan sarat catatan sejarah. Tak hanya di Timur Tengah dan kalangan Muslim, buku tersebut pun menjadi rujukan bangsa Barat. Buku karangannya kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Inggris, buku bertajuk Ibn Battuta, Travels in Asia and Africa 1325-1354 diterbitkan oleh penerbit ternama Routledge dan Kegan Paul.
Buku Ibnu Battah tak sekadar catatan perjalanan, tapi juga rujukan sejarah dunia Islam di seluruh penjuru dunia. Ia menceritakan dengan jelas bagaimana kondisi Islam di setiap daerah yang ia kunjungi. Ia juga menggambarkan perkembangan Islam di Tanah Suci karena beberapa kali melakukan perjalanan menunaikan ibadah haji. Bahkan, di Indonesia, Ibnu Batutah pun berjasa dalam menguak sejarah kerajaan Islam tua di nusantara, Samudra Pasai.
Setelah meninggalkan karya legendaris itu, Ibnu Batutah menemui ajalnya. Ia meninggal pada 1368 di kota kelahirannya, Tangier Maroko. Hingga kini, nama Ibnu Batutah sangat terkenal tak hanya di kalangan Muslimin, tapi juga sejarawan barat. Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim di abad ke-14. Ia telah memberikan banyak pengetahuan dan pelajaran bagi Muslimin sepanjang zaman melalui perjalanannya tersebut.
Perjalanan Pertama
Lebih dari separuh usia ia habiskan untuk menempuh perjalanan. Hampir seluruh dunia Islam pernah ia kunjungi. Catatan perjalanannya pun menjadi rujukan sejarah hingga kini. Ialah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi Ibn Batutah atau yang terkenal dengan nama Ibnu Batuta.
Dia lahir di Tangier, Maroko, 24 Februari 1304. Keluarganya berasal dari etnis Berber yang banyak berkiprah menjadi seorang hakim (qadhi). Tapi, Ibnu Batutah keluar dari tradisi. Setelah belajar hukum Islam, ia enggan menjadi hakin, tapi memilih menjadi petualang. Ibnu Batutah yang juga dikenal sebagai Shams Ad-Din rupanya sangat berjiwa petualang. Terbukti dari kemandiriannya dalam menjelajah dunia. Dia selalu selamat dari segala marabahaya yang mengadang di sepanjang jalan.
Perjalanan pertamanya tertuju pada Haramain. Di usia yang masih sangat belia, yakni 21 tahun, Ibnu Batutah menempuh perjalanan seorang diri ke Tanah Suci untuk mengunjungi Baitullah dan makam Rasulullah.
“Aku berangkat sendirian, tak memiliki teman perjalanan yang dapat menghibur, tidak pula menjadi bagian dari para pelancong. Terpengaruh oleh keinginan yang tak kuasa dibendung diri, yakni untuk mengunjungi tempat-tempat suci, aku pun meninggalkan teman-teman dan meninggalkan rumah,” ujar Ibnu Batuta dalam catatan perjalanannya.