REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kewajiban sertifikasi halal kepada produk barang dan jasa akan dimulai pada 17 Oktober 2019 sesuai dengan amanat Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014. Seluruh produk barang dan jasa nantinya akan disertifikasi. Namun ketentuan produk rokok dimasukkan ke dalam kewajiban sertifikasi masih menjadi pertanyaan.
Dalam surat pemberitahuan dan permintaan data sertifikat halal yangg dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) bernomor 173/BD.II/P.II.III/HM.01/08/2019, terdapat lampiran yang menyebutkan bahwa terdapat pemberitahuan layanan registrasi dan sertifikasi halal kepada Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Pemberitahuan kepada Gappri itu tertulis di dalam poin keenam di dalam lampiran.
“Ya makanya itu kan surat resmi dari BPJPH ke industri. Kok rokok mau diberi sertifikasi halal? Landasannya bagaimana asalnya, sejauh yang saya tahu itu enggak bisa,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (19/9).
Adanya surat pemberitahuan layanan dan registrasi sertifikasi kepada pabrik rokok itu, kata dia, maka pemahaman pemerintah dalam hal halal patut dipertanyakan. Dia menilai pemerintah perlu memetakan terlebih dahulu mana industri yang berhak memperoleh sertifikasi halal dan mana industri yang tidak boleh.
Berdasarkan acuan dari hukum fikih populer, dia melanjutkan, mayoritas ulama berpendapat bahwa rokok dihukumi makruh. Makruh merupakan suatu hal dilarang namun tak ada konsekuensi (dosa) apabila melakukannya. Namun sebaliknya apabila meninggalkannya maka yang bersangkutan dapat diganjar pahala. “Kalau zat rokok atau tembakau dihukumi makruh, maka tidak ada dasarnya itu bisa dihalalkan,” kata dia.
Dia menyayangkan langkah pemerintah dalam hal ini BPJPH yang mengakomodasi industri rokok untuk turut serta disertifikasi halal. Pihaknya meminta pemerintah mengkaji ulang keputusan tersebut karena tak sesuai dengan asas halal secara holistik.
Kepala BPJPH MUI Sukoso saat dikonfirmasi Republika, Kamis (19/9) membenarkan adanya surat undangan kepada industri rokok untuk layanan registrasi halal tersebut. Hanya saja dia menegaskan bahwa surat undangan yang dimaksud adalah penegasan bahwa kewajiban sertifikasi halal kepada produk yang berupa barang dan jasa akan dilaksanakan.
“Yang masuk sebagai produk itu kan barang dan jasa. Rokok masuk tidak di dalamnya? Ya makanya ini diundang dulu, jangan sampai ada yang komplain tidak diundang padahal masuk dalam kriteria,” kata Sukoso.
Menurutnya, perkara sertifikasi halal tidaknya rokok itu nanti akan ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) yang masih dibahas dan ditargetkan keluar bulan depan. Terkait dengan penegasan apakah rokok masuk ke dalam kategori halal atau haram sehingga layak untuk disertifikasi, Sukoso tak dapat menjabarkan lebih jauh.
Menurutnya seluruh keputusan berada dalam pertimbangan MUI yang akan diperkuat dengan PMA nantinya. Untuk saat ini pihaknya hanya menjalankan sosialisasi kewajiban sertifikasi kepada seluruh industri barang jasa agar tak ada diskriminasi satu dengan yang lainnya.
“Kami undang semua, karena nanti kami dibilang tebang pilih. Maka lihat saja nanti keputusannya bagaimana, tunggu PMA. Enak toh?” ujarnya.
Sebagai catatan, BPJPH akan memulai pelayanan registrasi dan sertifikasi halal pada 17 Oktober nanti bagi produk yang belum memiliki sertifikat. Sedangkan produk yang sudah memiliki sertifikat halal sebelum tanggal 17 Oktober, masih akan tetap berlaku hingga masa berlaku kehalalannya habis. Untuk tahap awal, produk makanan dan minuman (mamin) akan diwajibkan terlebih dahulu sertifikasi halalnya.