REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fitur utama dari proyek restorasi Wadi Hanifah adalah untuk menentukan saluran aliran banjir lembah ini dan membersihkannya dari puing-puing bangunan dan industri. Kemudian, meminimalkan dampak destruktif dari banjir.
Keringat dan kerja keras para arsitektur lingkungan untuk menampilkan wajah baru Wadi Hanifah akhirnya menuai buah manis. Kini, Wadi Hanifah bukan lagi daerah pembuangan limbah, melainkan tempat favorit warga sekitar untuk bersantai di bawah naung an 30 ribu pohon akasia yang tersebar di sekitar Wadi serta suara gemericik air jernih yang mengalir di sepanjang lembah.
Untuk menambah kenyamanan, Wadi Hanifah juga dilengkapi dengan jalan setapak sepanjang 7,4 kilometer, tempat parkir yang mampu menampung 2.000 kendaraan, serta ratusan toilet umum. Kami tidak memiliki ruang terbuka di Riyadh. Tidak ada taman, tidak ada pantai.
Wadi Hanifah telah menjadi tempat untuk bernapas, kata Saud al-Ajmi, salah satu warga Riyadh saat bersantai di Wadi Hanifah. Wadi Hanifah kini bertindak seperti baling-baling yang mengembuskan angin se juk, meringankan polusi, dan mengusir panas. Di sekitar Wadi terdapat koridor hijau tempat tumbuhnya tanaman perdu seperti pohon tamarisk dan akasia.
"Kami sengaja menanam untuk membiarkan wadi menemukan keseimbangan alami nya sendiri. Semua semak-semak ini akan menipis seiring waktu. Penanaman yang berlebihan juga mendorong perbanyakan benih. Ini membantu mengisi wadi dengan spesies asli,"jelas arsitek lan sekap Christopher Walter yang ambil bagian dalam proyek reboisasi Wadi Hanifah.
Walter sengaja tidak menanam kurma. Mengapa? Pohon kurma dapat menyerap air sebanyak 52 liter sehari di musim panas. Tetapi, jika bola akar pohon kurma terusmenerus terendam, ia akan mati. Kurma yang kita tanam di sini gagal karena tingkat air tanah yang tinggi, jadi kita telah menggantinya dengan rosewood yang tahan air, dan lainnya.''