REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata 'wadi' sendiri, dalam bahasa Arab, memiliki arti lembah yang berkelok-kelok, dan selalu kering. Meski demikian, selama ribuan tahun, wadi selalu dipenuhi permukiman. Sebab, walau kering sepanjang tahun, wilayah ini tetap subur berkat kandungan air tanah (akuifer) yang berada di dekat permukaan.
Berabad-abad sebelum Islam, suku yang tinggal di sekitar Wadi Hanifah dikenal sebagai Banu Hanifah. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani dan pedagang. Di antara kota-kota yang mereka dirikan, salah satunya adalah Haji, yang menjadi ibu kota al-Yamamah.
Pada abad ke-14, kota itu digambarkan sebagai kota yang indah dan subur, dengan air yang melimpah. Kota ini akhirnya berganti nama menjadi al-Riyadh yang berarti kebun, dan bertahan hingga kini.
Riyadh yang bermula sebagai sebuah desa, mulai berkembang menjadi kota kecil. Namun, sejak awal 1970-an, seperti dikatakan Abdullatif al-Asheikh, presiden Otoritas Pengembangan Arriyadh, terdapat ekspansi signifikan di wilayah Riyadh, khususnya dalam bidang industri, yang dapat berdampak buruk bagi Wadi Hanifah.
Pertumbuhan industri yang cepat dinilai mulai merusak ekosistem. Penggalian batu dan tanah melemahkan tepian saluran penahan banjir, ditambah penambangan mineral yang tidak terkendali. Perkebunan kelapa sawit juga menyerap banyak air dari Wadi Hanifah, ditambah saluran yang terhambat karena pembuangan limbah pabrik yang tak terkontrol. Akibatnya, banjir bandang musiman terjadi di sana, dan menyebabkan erosi.
"Air limbah pun membanjiri permukiman sekitarnya. Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Kami harus meninggalkan lembah, "ucap salah satu petani yang tinggal di Wadi Hanifah.