Selasa 10 Sep 2019 17:17 WIB

Kertas dan Revolusi Budaya

Bermunculannya industri kertas pada era kejayaan Islam melahirkam profesi baru.

Rep: Mozaik Republika/ Red: Agung Sasongko
Pembuatan kertas tempo dulu (ilustrasi).
Foto: herisem.be
Pembuatan kertas tempo dulu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — “Produksi kertas tak hanya memberi rangsangan luar biasa untuk menuntut ilmu, tetapi membuat harga buku semakin murah dan mudah diperoleh. Hasil akhirnya adalah revolusi budaya,'' cetus Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar.

Menurut dia, produksi buku dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya membuat konsep ilmu bertransformasi menjadi sebuah praktik yang benar-benar distributif.

Baca Juga

Bermunculannya industri kertas pada era kejayaan Islam juga telah melahirkan sejumlah profesi baru. Salah satunya adalah warraq. Mereka menjual kertas dan berperan sebagai agen. Selain itu, warraqin juga bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya. Mereka juga menjual buku dan membuka toko buku.

Menurut Sardar, sebagai agen, warraqin juga sering membuat sendiri kertas untuk mencetak buku. Sebagai penjual buku, warraqin mengatur segalanya, mulai dari mendirikan kios di pinggir jalan hingga toko-toko besar yang nyaman jauh dari debu-debu pasar. Kios-kios buku itu umumnya berdiri di jantung kota-kota besar, seperti Baghdad, Damskus, kairo, Granada, dan Fez.

Seorang sarjana Muslim, Al-Yaqubi dalam catatannya mengungkapkan pada abad ke-9, di pinggiran kota Baghdad terdapat tak kurang dari 100 kios buku. Di toko-toko buku besar, kerap berlangsung diskusi informal membedah buku. Acara itu dihadiri para penulis dan pemikir terkemuka.

Sardar menuturkan, salah satu toko buku terkemuka dalam sejarah Islam adalah milik Al-Nadim (wafat 990 M). Dia adalah seorang kolektor buku pada abad ke-10. Toko buku Al-Nadim di Baghdad dipenuhi ribuan manuskrip dan dikenal sebagai tempat pertemuan para pemikir, penyair terkemuka pada masanya. Katalog buku-buku yang terdapat di tokonya Al-Fihrist Al-Nadim dilengkapi dengan catatan kritis. Katalog itu dikenal sebagai ensiklopedia kebudayaan Islam abad pertengahan.

Industri penerbitan yang dipelopori warraqin dilakukan dengan sistem kerja sama antara penulis dengan penerbit. Seorang penulis yang ingin menerbitkan bukunya bisa menyampaikan keinginannya secara publik atau menghubungi satu atau dua warraqin. Buku tersebut nantinya akan 'diterbitkan' di sebuah masjid atau di toko buku terkenal.

Selama masa yang ditentukan, setiap harinya penulis buku itu akan mendiktekan isi bukunya. Setiap orang boleh menghadiri acara itu. Biasanya, para pelajar dan sarjana berkerumun menyimak acara penting itu. Para penulis biasanya menegaskan bahwa hanya warraqin saja yang boleh menulis bukunya.

Ketika buku selesai ditulis, manuskrip tangan akan diperiksa dan diperbaiki penulisnya. Setelah sepakat, buku akan diterbitkan dan dijual kepada pembaca. Sesuai kesepakatan, penulis akan mendapat royalti dari warraqin. Tumbuh suburnya industri penerbitan membuat gairah membaca masyarakat Muslim begitu tinggi.

Untuk menampung buku-buku yang terus terbit, dibangunlah perpustakaan-perpustakaan. Salah satu perpustakaan terkemuka adalah Baitul Hikmah yang dibangun Khalifah Harun Al-Rasyid di kota Baghdad. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement