Selasa 13 Aug 2019 05:00 WIB

Pesantren Jagasatru, Surau Ilmu dan Markas Pergerakan Ulama

Pesantren Jagasatru berawal dari surau kecil tempat mengaji.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Gerbang Pesantren Jagasatru
Foto: Republika/ Andrian Saputra
Gerbang Pesantren Jagasatru

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Berkembangnya ajaran Islam di Cirebon tak bisa terlepas dari keberadaan pesantren-pesantren yang sudah berdiri sejak berabad-abad silam. 

Sebuah surau kecil di Jagasatru yang didirikan oleh Habib Syeikhoni atau dikenal Habib Syekh, turut menyumbang pesatnya islamisasi di kawasan Cirebon dan sekitarnya. Surau itulah yang kemudian hari menjadi Pondok Pesantren Jagasatru. 

Baca Juga

Habib Syekh adalah putra dari Habib Abu Bakar. Dia lahir di Palimanan, Cirebon pada 1890 M. Sejak kecil ulama kharismatik pendiri Ponpes Jagasatru itu telah menimba ilmu agama di beberapa pesantren tua di Cirebon. Salah satunya yakni Pesantren Kadipaten di daerah Duku Warung dan Karang Sembung. 

Ketika dia masih menimba ilmu di Pesantren Kadipaten, Habib Syekh menikahi Ruqoyyah seorang putri Patih Kesultanan Kanoman. Namun meski telah menikah, Habib Syekh tak lantas mengakhiri pengembaraannya dalam menimba ilmu. 

Bahkan setelah menikah dengan Ruqoyyah, Habibi Syekh kembali memperdalam ilmu agama di pesantren Wanasaba, Jati Sari dan di Pesantren Plered. Setelah mengaji di Pesantren Plered, Habib Syekh memutuskan menetap tinggal bersama istrinya. 

“Beliau itu asalnya Palimanan terus pesantren di Plered, setelah disitu kesini dinikahkan sama Nyai keluarga keraton akhrinya ditempatkan di sini,” tutur Ustaz Amir Hamzah yang juga menjadi pengurus dan pengajar santri putra Ponpes Jagasatru saat berbincang dengan Republika,co.id beberapa waktu lalu.  

Habib Syekh kemudian mengajak Ruqoyyah untuk menunaikan ibadah haji dan tingal di tanah suci sekitar 1920 sampai 1925. Sepulangnya dari tanah suci, Habib Syekh kemudian mendirikan sebuah rumah kecil dari bilik serta sebuah surau di tanah kosong yang diberikan keraton untuk Habib Syekh. Di tempat itulah, Habib Syekh mulai berdakwah mensyiarkan ajaran Islam pada masyarakat Cirebon. 

Saban malam, Habib Syekh mengajari anak-anak mengaji. Namun para santrinya tak menetap tinggal di surau melainkan pulang ke rumah atau disebut santri kalong. Sementara setiap Jumat dan Ahad, Habib Syekh membuka pengajian majelis taklim yang diikuti masyarakat Cirebon. 

Makin hari, santri yang mengaji pada Habib Syekh pun semakin banyak. Hingga pada 1940 Habib Syekh memugar dan memperbesar surau yang didirikannya itu. Kala itu belum ada listrik, santri pun menggunakan sentir untuk penerangannya. 

Barulah pada 1943 surau yang telah dipugar itu bisa menggunakan listik. Pada 1948-1949, surau itu diperluas kembali. Selain itu dibangun kamar untuk santri yang mukim atau menetap. 

Pada 1952, para santri yang mukim itu pun diperkenankan Habib Syekh menuntut ilmu formal atau bersekolah ke luar pesantren. Namun syaratnya para santri harus tetap mamakai sarung saat keluar pesantren. 

Pondok itu pun makin berkembang pesat. Pada 1956, surau kembali diperluas ditambah dengan enam kamar untuk santri putra dan satu kamar untuk santri putri. Hingga pada 1961, telah ada kamar 10 lokal untuk santri putra dan satu kamar untuk santri putri. Kemudian mendirikan madrasah ibtidaiyah pada 1962 dengan mata pelajaran agama dan umum. Kendati demikian, pondok itu belum mempunyai nama. 

photo
Kompleks Pesantren Jagasatru, Cirebon. Republika/ Adian Saputran

Pada 12 Juni 1964 M atau 10 Sya’ban 1384 Hijriyah, Habib Syekh wafat. Setelah itu kuwu desa Lemah Wunguk pun menamai pondok yang dibangun Habib Syekh dengan nama Pesantren Al Alif pada 1965. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun lebih familier menyebutnya dengan Pesantren Jagasatru.

“Jadi berangsur-angsur orang itu mengenal Pesantren Jagasatru itu bukan namanya tapi nama daerahnya karena terletak di Jagasatru. Sampai sekarang disebutnya Pondok Pesantren Jagasatru,” kata Ustaz Amir. 

Ustaz Amir mengungkapkan Habib Syekh dikenal masyarakat Cirebon sebagai sosok yang sederhana dan gigih dalam mensyiarkan Islam. Dengan kesederhanaannya itu pulalah, Habib Syekh menjadi panutan para ulama di Cirebon. 

“Beliau itu sederhana mengedepankan yang namanya dakwah, pengembangan Islam dan bagaimana caranya orang yang berada di sekelilingnya itu menjadi mengenal agama Islam, memahami ajaran Islam,” katanya.  

Dakwah Habib Syekh yang disambut baik masyarakat Cirebon menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pajajah. Bahkan sebelum kemerdekaan, Pesantren Jagasatru Cirebon menjadi tempat persembunyian para ulama yang diincar Belanda. 

Menurut pengurus santri Ponpes Jagasatru, Busyheri Yusuf, terdapat sebuah gua yang digunakan para ulama untuk bersembunyi baik kala pendudukan Belanda maupun Jepang di Cirebon. 

Para ulama yang bersembunyi di gua itu pun tak bisa ditemukan oleh musuh. Menurut Busyheri itu tak lepas dari karamah Habib Syekh. “Para ulama bersembunyi di sini yang menampung Habib Syekh, wallahu a’lam bagaimana sampai bisa tidak terlihat,” kata Busyheri. 

Menurut Busyheri gua tersebut berada persis di bawah bangunan yang kini menjadi madrasah di Ponpes Jagasatru. Menurut Busyheri karena itu pula lah pesantren berubah nama menjadi Jagasatru sesuai dengan nama wilayah tersebut yakni Jagasatru yang mempunyai makna menjaga dari musuh. “Bahkan dulu Jagasatru dijatuhi bom pesawat tentara Jepang tapi bomnya ngga ada yang meledak. Jagasatru tetap aman,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement