REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tema Bekal Hijrah di Jalan Allah dibawakan dalam kajian di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Materi yang disampaikan Syekh Dr Abdurrahman bin Abdullathif ar-Rusyaidan ini diterjemahkan oleh Ustaz Abdul Aziz Firdaus Bakhbazi. Syekh Dr Abdurrahman adalah seorang dosen Fakultas Hadis di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Tema ini disebut menarik karena hijrah kepada Allah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah. Bagi seorang Muslim yang berjalan menuju kepada Allah, diperlukan ilmu bagaimana berhijrah, terlebih berhijrah dengan hati.
Syekh Abdurrahman menyebut hijrah ini memiliki ikatan erat dengan syahadat. Syahadat merupakan sebuah persaksian dari seorang Muslim bahwa tidak ada yang bisa disembah kecuali Allah. Ini konsekuensi persaksian umat Islam tentang keesaan Allah.
"Tema ini adalah hal yang penting karena berkaitan tentang landasan hidup seorang Muslim. Tentang ucapan seorang Muslim akan keyakinannya akan Allah," ujar dia.
Hijrah masih dimaknai dengan berpindah dari negara yang kufur ke negara Islam. Karena itu, kajian tentang hijrah ini penting dengan tujuan bisa memberikan penjelasan bahwa hijrah kepada Allah ini memiliki banyak jenis. Hijrah yang paling utama dan mulia adalah hijrah dengan hati menuju Allah.
Hijrah diambil dari kata hajr yang artinya meninggalkan atau menghindari. Definisi dalam kacamata syariat ada banyak maknanya. Namun, setiap makna memiliki kesamaan arti, yakni meninggalkan sesuatu.
Hijrah sendiri terbagi dalam enam macam. Hijrah pertama yakni hijrah dengan fisik, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hijrah dengan fisik ini masih berlaku hingga hari kiamat tiba. Sebagian umat menilai hijrah fisik tidak lagi berlaku dan sudah berhenti kewajibannya saat Nabi Muhammad berpindah dari Makkah ke Madinah.
Pandangan ini keliru karena menjadi kewajiban bagi umat yang berada pada kondisi dan keadaan tertentu. Terlebih jika tinggal dalam suatu negara yang tidak memberikan ketenangan dan ketenteraman dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Di antara dalil yang menjelaskan bahwa hijrah fisik ini masih berlaku adalah firman Allah dalam an-Nisa ayat ke-97, "Sesungguhnya orangorang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).' Para malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburukburuk tempat kembali."
Hijrah fisik ini hukumnya wajib dan bumi Allah ini luas. Ketika seorang Muslim berada di negara kafir, tidak bisa memperlihatkan agamanya, tidak bebas menjalankan agamanya, maka diwajibkan untuk hijrah. Kecuali jika dia dalam kondisi betul-betul tertindas dan tidak memiliki daya untuk berpindah, maka dia akan diampuni oleh Allah SWT.
Nabi SAW pun berkata, "Hijrah tidak akan terputus selama tobat masih diterima, dan tobat akan tetap diterima hingga matahari terbit dari barat."
Hijrah kedua adalah menuju Allah dengan hati. Hijrah kepada Allah dengan hati merupakan yang diwajibkan dan permintaan Allah SWT. Berikutnya adalah hijrah menuju Rasulullah SAW. Ini konsekuensi seorang Muslim bersyahadat dengan bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah.
Hijrah keempat yakni meninggalkan para pelaku maksiat, baik mereka yang munafik, kafir, maupun musyrik. Caranya dengan menjauhi mereka dan tidak tinggal bersama mereka. Hijrah kelima yakni meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk dan akhlak yang tidak baik.
Terakhir yakni hijrah dengan meninggalkan negara atau tempat yang dipenuhi bid'ah. Seseorang, meskipun berada di lingkungan sesama Muslim, tapi terdapat kemaksiatan di dalamnya, wajib bagi dia untuk berpindah ke tempat lebih baik yang menjalankan syariat Nabi.
"Para ulama menjelaskan, hijrah menuju Allah adalah meninggalkan kemaksiatan dan dosa. Ia berpindah menuju ketaatan kepada Allah SWT, berpindah dari kecintaan selain Allah SWT, dan memberikan dirinya kepada Allah SWT," lanjut Syekh Abdur rahman.