REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists) dan Yayasan Nur Semesta menyelenggarakan seminar internasional bertajuk "Said Nursi's Legacies For 21st Century Muslim World". Acara yang dihadiri ratusan orang ini berlangsung di Aula Imam Al Ghazali, Gedung Gema Insani, Jakarta pada Senin (15/7).
Said Nursi (1877-1960) dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang otoritatif. Dia menguasai sejumlah tradisi keilmuan, seperti tafsir, tasawuf, fikih, dan lainnya. Dia tewas di tangan rezim sekuler Turki pada abad ke-20.
Seminar ini dihadiri dua pembicara kelas dunia. Pertama adalah Prof Alparslan Acikgenc yang dikenal sebagai ahli falsafah Islam. Dia dikenal sebagai pengkaji konsep wujud dalam pandangan cendekiawan Muslim Shadruddin Syirazi (1572-1640) dan filsuf barat Martin Heidegger (1889-1976).
Dalam seminar itu, Alparslan membahas dimensi spiritual manusia sebagai model kehidupan sosial dalam Pemikiran Nursi. Menurut dia keharmonisan dalam masyarakat dapat tercipta dengan adanya kedamaian dan toleransi.
"Sangat penting adanya keharmonisan karena globalisasi dan perubahan terjadi dengan cepat," jelas dia.
Para pembicara seminar dengan tema peninggalan cendekiawan Said Nursi dan pengurus INSISTS berfoto bersama di Jakarta.
Untuk memahami spiritual yang dijelaskan oleh Nursi, Alparslan memulai dengan bagian penting dari diri manusia untuk memahami, yakni cara berpikir. Daya spiritual yang dimiliki manusia merefleksikan pemikiran yang kemudian menghadirkan sikap ketika berprilaku.
Alparslan membagi sikap manusia menjadi empat bagian. Pertama, dengan tangan dan kaki. Ini dilakukan oleh bayi ketika mulai bisa mengamati lingkungan sekitarnya. Kedua, adalah perseptif. Pada tingkatan ini manusia sudah bisa menangkap hal abstrak, disinilah pendeketan ilmu pengetahuan dan pemikiran berada.
Ketiga, membuat konsep. Pemikiran abstrak dihasilkan dan dibuat sistematis. Manusia dalam tahap ini telah menjadi sosok intelektual. Keeempat adalah spiritualitas, disinilah pemikiran sudah melibatkan hati. Dalam spiritual ini hati menangkap nuansa batin setiap realitas. Seseorang pada tingkatan ini tak hanya terpaku pada tampilan sisi luar. Dia mampu membaca dimensi batin seseorang.
Pembicara kedua adalah cendekiawan Muslim dan dosen sejumlah perguruan tinggi di Turki Prof Ahmet Karacik. Dia menjelaskan keyakinan dan kesempurnaan manusia di masa modern. Menurut Ahmet, kesempurnaan merupakan hal yang penting. Jalan menuju kesempurnaan menjadi diskusi falsafah selama berabad-abad, mulai falsafah Islam dengan konsep insan kamil hingga falsafah Barat dengan konsep ubermansch Nietzche dan filsuf lainnya.
"Banyak orang ingin menjadi sempurna, tetapi gagal untuk mencapainya," jelas dia.
Said Nursi, dalam pandangannya, telah menemukan jalan keluar untuk memecahkan masalah ini jauh sebelumnya. Dia membahasnya terlebih dahulu dengan merujuk pada Alquran. "Sungguh telah Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah rendahnya," QS At Tin ayat 4-5.
Khazanah pemikiran Said Nursi dinilainya sangat relevan dengan kehidupan saat ini. Nuansa sufisme di dalamnya menjadikan pemikiran sang alim seperti embun penyejuk kehidupan di tengah kegersangan spiritual karena kontaminasi materialisme dan berbagai paham keduniaan.
Acara ini dipandu oleh dua pendiri INSIST, yaitu Dr Hamid Fahmy Zarkasyi dan Dr Syamsudin Arif.