Ahad 07 Jul 2019 19:26 WIB

Sekolah Madrasah Bayarnya Pakai Hasil Bumi

Hasil bumi yang dibayarkan untuk makan bersama-sama murid.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Nashih Nashrullah
Siswa madrasah (ilustrasi).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Siswa madrasah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS – Madrasah Tsanawiyah Pakis di Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas ini, memiliki cara unik untuk mendapatkan siswa baru. Mereka tidak mewajibkan calon siswa baru untuk membayar uang pendidikan. Namun cukup memberikan hasil bumi pada pihak sekolah. 

''Semua hasil bumi yang diberikan pada orang tua siswa ini tidak kami jual untuk membiayai kegiatan pendidikan. Tapi untuk dimakan bersama-sama seluruh siswa di sekolah, saat kegiatan belajar mengajar berlangsung,'' jelas pengelola MTs Pakis, Isrodin, Ahad (7/7).

Baca Juga

Dia menyebutkan, sekolah yang didirikan sejak tujuh tahun silam ini memang dimaksudkan untuk menampung anak-anak warga kurang mampu yang tinggal di kawasan pinggiran hutan (Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Terlebih anak-anak yang tinggal di kawasan ini, banyak yang putus sekolah.

''Berdasarkan keprihatinan tersebut, kami mendirikan sekolah setingkat yang SMP yang bisa menjadi alternatif anak-anak sekitar hutan melanjutkan pendidikan hingga SMP,'' katanya.

Mengingat kondisi masyarakat sekitar hutan yang kebanyakan berasal dari kelompok masyarakat bawah, maka sekolah tidak memungut biaya apa pun untuk kegiatan selama sekolah. ''Hanya saat mendaftar sebagai siswa baru atau pendaftaran ulang saja, orang tua membawa hasil bumi untuk pihak sekolah,'' katanya. 

Hasil bumi yang diberikan pada pihak sekolah, bisa berupa  pisang, singkong, ubi jalar, tales dan hasil bumi lainnya. Hasil bumi yang diberikan orang tua siswa tersebut bukan untuk dijual, melainkan untuk dimakan bersama-sama dengan para siswa saat kegiatan sekolah berlangsung.  Dengan berbagai keterbatasan ini, seluruh guru MTs yang dikelolanya tidak ada yang mendapat honor dari pihak sekolah. Seluruhnya, merupakan para relawan yang dengan keikhlasan hati bersedia mengajar di MTs. 

Karena itu, kata Isrodin, kualifikasi guru yang mengajar tidak harus dari FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan). Namun dari berbagai fakultas perguruan tinggi yang ada di Purwokerto. ''Ada yang lulusan Unsoed, Unwiku atau perguruan tinggi lain. Mereka mengajar sesuai dengan kemampuannya. Saat ini, ada 10 relawan yang mengajar di sekolah kami,'' katanya.  

Meski demikian dia menyebutkan, siswa yang lulusan dari sekolahnya, tidak akan kesulitan bila hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini mengingat status MTs Gununglurah yang menginduk pada MTS Maarif NU Cilongok. ''Selama tujuh tahun MTs Gununglurah berdiri, saat ini sudah ada beberapa bekas muridnya yang lulus SMK atau SMA,'' katanya.

Saat ini, kata Isrodin, jumlah siswa di sekolahnya ada sebanyak 21 orang. Mereka terdiri dari siswa yang baru naik ke kelas VIII sebanyak 13 orang, siswa kelas IX sebanyak 8 orang. Sedangkan untuk calon siswa kelas VII, sejuah ini sudah ada 4 orang yang mendaftar. 

"Pendaftaran masih akan berlangsung hingga 20 juli besok, sehingga calon siswa masih bisa bertambah. Kami juga akan menyisir anak-anak usia SMP di sekitar desa yang berpotensi putus sekolah, agar bisa melanjutkan sekolah di sekolah kami,'' katanya.

Isrodin menyatakan, bangunan sekolah dan berbagai perlengkapan sekolah yang ada saat ini sudah cukup memadai. Bangunan yang digunakan merupakan bangunan bantuan Kementerian Agama, dan saat ini sudah menjadi bangunan sekolah milik sendiri. Bangunan sekolah berupa bangunan sekolah tiga kelas, dengan satu ruang transit guru.

"Untuk membiayai kegiatan pendidikan misalnya untuk membeli alat tulis, kami kadang harus urunan sesama guru sekolah karena kami tidak mendapatkan dana BOS (Biaya Operasional Siswa). Tapi Alhamdulillah, kegiatan pendidikan yang kami laksanakan masih bisa berjalan lancar,'' jelasnya.

Sanusi (42), warga Desa Gunungluruh yang mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut, mengaku memilih sekolah tersebut sebagai sekolah anaknya, karena tidak dipungut biaya apa pun dan lebih dekat dari rumah. ''Kalau anak saya harus sekolah di luas desa, kami tidak mampu. Selain akan dikenakan biaya sekolah yang tinggi, kami juga harus membiayai angkutan anak kami ke sekolah,'' katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement