REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Siti Nuryati
Para sahabat di sekeliling Rasulullah saw terkenal gemar berlomba menyedekahkan harta mereka. Pernah suatu kali, nabi mengumumkan bahwa negara tengah membutuhkan dana besar untuk membiayai ekspedisi militer dalam Perang Tabuk melawan kekaisaran Romawi.
Mendengar pengumuman ini, Umar bin Khattab langsung menginfakkan setengah dari total kekayaannya. Abu Bakar tak kalah dermawan. Dia malah menjadi orang pertama yang datang memenuhi panggilan jihad itu dengan memboyong empat ribu dirham, atau hampir seluruh harta kekayaannya.
Rasulullah sampai bertanya, ''Lantas, apa yang kausisakan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?''
''Cukuplah Allah dan Rasul-Nya,'' jawab Abu Bakar, kalem.
Mengetahui hal ini Umar berkata, ''Setiap kali aku berlomba dengan Abu Bakar, dia pasti menang.''
Begitulah karakter para sahabat, yang mengapresiasi secara baik sabda Nabi SAW tentang sedekah.
''Barang siapa yang bersedekah di jalan Allah tanpa terjun ke medan perang, setiap dirham yang disedekahkannya akan dibalas Allah dengan tujuh ratus dirham. Sedangkan siapa yang bersedekah sekaligus terlibat dalam jihad di medan perang, maka setiap dirhamnya akan dibalas Allah dengan tujuh ratus ribu dirham.''
Itulah sebabnya, konglomerat semacam Abdurrahman bin Auf tidak segan-segan membelanjakan ribuan dirham miliknya untuk mengentaskan kemiskinan, memerdekakan ribuan budak, menghidupkan sektor-sektor informal yang merupakan basis kaum marginal, serta memenuhi kebutuhan dasar mereka yang miskin secara alamiah. Sahabat yang kaya-raya itu juga dikenal sebagai dermawan yang rajin mendanai proyek-proyek dakwah Rasulullah saw.
Ajaran Islam dengan terang-terangan tidak melarang seorang Muslim menjadi kaya. Bahkan Islam mendorong setiap Muslim untuk menjadi kaya raya seolah dia hidup selamanya di dunia ini, tetapi bersamaan dengan itu pula, agama ini juga menyuruh umatnya berbuat amal saleh seolah mereka mati esok hari.
Jika kedua prinsip ini dijalankan secara seimbang, maka dalam masyarakat Islam tidak akan muncul habitat homo economicus dan homo consumens yang di dalamnya orang-orang bersaing bebas dan saling menjatuhkan. Sebaliknya, manusia akan bertolong-tolongan dalam kebajikan dan takwa, seraya menolak kerjasama dalam kejahatan (QS Almaidah:2).