Rabu 26 Jun 2019 17:34 WIB

Beda antara Nikmat dan Niqmat

Agar nikmat tak berubah menjadi niqmat, kita diperintahkan-Nya bersyukur.

Wisatawan menikmati suasana matahari terbit di Bukit Panguk, Kediwung, Mangunan, Yogyakarta. ilustrasi (Antara/Sigid Kurniawan)
Wisatawan menikmati suasana matahari terbit di Bukit Panguk, Kediwung, Mangunan, Yogyakarta. ilustrasi (Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID,

Nikmat menunjuk pada kepuasan atau sesuatu yang menyenangkan hati. Harta benda, kekayaan yang melimpah, kesehatan, pangkat, dan kedudukan yang tinggi adalah nikmat. Begitu pula iman, petunjuk Tuhan, dan kesanggupan melakukan kepatuhan kepada Allah SWT merupakan nikmat.

Baca Juga

Kata nikmat ditemukan sebanyak 34 kali dalam Alquran. Kata ini, menurut pakar bahasa Ibn Faris, digunakan untuk menunjuk keadaan yang baik (Al-Halah Al-Hasanah), baik material maupun spiritual. Binatang ternak, seperti unta, sapi, dan kambing disebut am'am karena mendatangkan kebaikan bagi manusia. Begitu pula wahyu, petunjuk Tuhan, dan agama dinamakan pula nikmat (QS Dhuha: 7).

Nikmat diartikan pula sebagai tambahan atau kelebihan (al-ziyadah). Keberadaan manusia adalah nikmat. Ini karena manusia pada mulanya tidak ada, lalu ada atau diciptakan Allah SWT (QS Al-Baqarah: 28). Dari semula tak punya apa-apa, memiliki harta, ilmu pengetahuan, istri, dan keturunan. Jadi, bertambah atau semuanya merupakan tambahan.

Karenanya, dikatakan nikmat Allah begitu besar, sehingga tidak mungkin menghitungnya. ''Apabila engkau bermaksud menghitung-hitung nikmat Tuhan, niscaya engkau tak mampu menghitungnya.'' (QS Ibrahim: 34).

Lain nikmat lain pula niqmat. Niqmat merupakan lawan (antonim) dari nikmat. Kata niqmat berarti 'ancaman' atau 'sikap menentang disertai kemarahan.'

Bila dikaitkan dengan Tuhan, maka kata itu bermakna, Allah SWT menentang perbuatan dosa dan maksiat. Lalu, memberi hukuman dan siksa kepada pelakunya. Jadi, berlainan dengan nikmat, niqmat justru merupakan siksa dan azab Allah SWT.

Meski berlawanan makna, tapi antara keduanya dapat terjadi keterkaitan. Niqmat dijatuhkan boleh jadi gara-gara nikmat. Dengan kata lain, nikmat bisa membawa niqmat. Perbuatan nikmat menjadi niqmat itu, bukan karena Tuhan, tetapi karena ulah mereka sendiri. (QS Al-Anfal: 53).

Agar nikmat tidak berubah menjadi niqmat, kita disuruh bersyukur.

Bagi Imam Ghazali, disebut bersyukur bila kita melakukan tiga hal. Pertama, menyadari bahwa semua anugerah dan nikmat yang dimiliki datang dari Allah SWT. Kesadaran ini penting supaya kita tidak sombong dan lupa diri.

Kedua, menyadari bahwa nikmat yang diberikan Allah SWT itu amat besar. Kesadaran ini juga penting supaya kita tahu diri dan penuh syukur kepada Allah SWT Sang Pemberi Nikmat.

Ketiga, menggunakan semua nikmat itu untuk kebaikan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT. Dengan kata lain, nikmat itu harus melahirkan sikap dan perbuatan yang dinamakan al-in'am, yaitu ishal al-khair ila al-ghair (mendatangkan kebaikan bagi orang lain). Dengan begitu, nikmat akan datang dan niqmat pun menghilang.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement