Rabu 26 Jun 2019 04:04 WIB

Istiqamah dalam Ketakwaan

Buah terbesar amal ibadah kita adalah menjadi orang bertakwa.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Fauzi Bahreisy

Buah terbesar amal ibadah kita adalah menjadi orang bertakwa. Itulah tujuan dari segala tujuan. Puasa kita mengarah pada takwa. Shalat, zakat, haji, dan seluruh ibadah bermuara pada takwa.

Allah SWT berfirman, "Hai manusia, beribadahlah pada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa," (QS al- Baqarah: 21).

Maka itu, yang menjadi tugas terbesar kita setelah melakukan ibadah adalah merawat ketakwaan. Dengan kata lain, tetap istiqamah dalam ketakwaan. Yaitu, konsisten dalam keimanan, ibadah, muamalah, akhlak mulia, menjauhkan diri dari dosa, serta dalam berjuang membela agama dan nilai-nilai kebenaran. Inilah pekerjaan dan tugas besar Muslim, khususnya pasca-Ramadhan.

Menjadi orang yang istiqamah memang tidak mudah. Itu sebabnya, Nabi SAW cepat beruban. Beliau bersabda, "Yang membuat saya beruban adalah surah Hud dan saudara-saudaranya," (HR ath-Thabrani). Menurut al-Qurthubi, dalam surah Hud ayat 112 terdapat perintah untuk istiqamah.

Ketika Nabi diminta menjelaskan hal yang sangat penting dalam Islam, beliau bersabda, "Katakan aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!" (HR Muslim). Karena itu, Allah menyuruh hambanya untuk selalu berdoa minimal 17 kali sehari dalam shalat agar bisa istiqamah. "Tunjukkan kami jalan istiqamah!" (QS al-Fatihah: 6).

Istiqamah dalam hidup paling tidak harus terwujud dalam tiga aspek. Pertama, istiqamah dalam setiap waktu. Istiqamah harus terwujud kapan saja, pada setiap waktu dan masa. Bukan hanya saat masih muda. Bukan hanya saat sulit dan susah. Bukan hanya saat berada di bawah. Bukan hanya saat dilihat orang.

Namun, ketaatan dan ketakwaan harus selalu ditunjukkan, baik saat muda maupun sudah tua. Baik saat senang maupun susah. Baik saat menjadi bawahan maupun saat menjadi atasan. Baik saat saat miskin maupun kaya. Baik saat suka maupun duka. Baik saat dilihat maupun tidak dilihat orang. Sebab, ada kalanya seseorang hanya taat dalam kondisi dan waktu tertentu.

Allah menegur dengan firman-Nya, "Dan di antara manusia, ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Jika memperoleh kebajikan, ia merasa senang. Namun, jika ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat," (QS al-Hajj: 11).

Kedua, istiqamah dalam setiap tempat. Di samping ketaatan harus tampak pada setiap waktu, ia juga harus tampak di setiap tempat. Ketaatan tidak dibatasi oleh tempat dan ruang. Taat bukan hanya saat berada di masjid melainkan juga saat berada di rumah, kantor, pasar, toko, dan saat berada di jalan. Rasulullah bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja dan kapan saja engkau berada," (HR at- Tirmidzi).

Ketiga, istiqamah dalam setiap aspek kehidupan. Bukan hanya pada setiap waktu dan di setiap tempat, taat dan takwa harus diperlihatkan di setiap aspek kehidupan. Kadang ketakwaan hanya tampak pada saat melakukan ibadah mahdah. Antara lain, saat shalat dan puasa.

Padahal, takwa harus tampak pula dalam setiap aspek dan bidang kehidupan. Artinya, takwa bukan hanya saat beribadah mahdah melainkan juga saat bermuamalah, menekuni hobi, berolahraga, makanan dan minum, belajar dan mengajar, serta berbusana dan bersolek. "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan..." [QS al-Baqarah: 208]. Itulah bentuk istiqamah yang sebenarnya. Istiqamah dalam ketakwaan dan ketaatan sepanjang hayat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement