REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah juga mendirikan Dewan Mufti atau Muftiyat pada 1993 sebagai referensi keislaman di masyarakat. Pada 1996 Muftiyat berganti menjadi Badan Keagamaan Islam Kirgistan (SAMK). Nyaris tak ada konflik antara kelompok tradisional yang mengikuti badan pemerintah ini dan setiap naskah khutbah Jumat pun terpantau.
Namun, pada 2008 para Mufti Kirgistan sempat mengadakan tes pengetahuan syariah dan bacaan Alquran terhadap sekira 2.000 imam, hampir setengahnya menolak. Kelompok reformis dan konservatif juga tidak memercayai para Mufti di badan pemerintah itu.
Dalam bab Kyrgyzstan di laman World Almanac of Islamism dari The American Foreign Policy Council diungkapkan, ada sekira 2.200 masjid yang sebagian besar ada di wilayah selatan Kirgistan. Sebanyak 70 persen masjid-masjid itu dibangun atas bantuan negara Muslim lain, seperti Turki dan Arab Saudi. Sebagai negara sekuler, Kirgistan berhati-hati dengan gerakan Islam.
Pemerintah bahkan melarang beberapa gerakan Islam yang dianggap vokal dan membuka wawasan politik pengikutnya. Keseriusan ini bahkan diwujudkan dengan dibentuknya Institut Riset Islam pada Mei 2014 yang khusus menangani isu radikalisme dan ekstrimisme.
SAMK memiliki perwakilan di tiap regional kota, distrik, dan cabang hingga wilayah yang plural guna menjalankan fungsinya sebagai pemersatu umat, organisasi, kelompok, institusi pendidikan agama, masjid, dan kelompok Muslim lainnya. Derasnya aliran buku-buku Islam yang masuk ke Kirgistan seiring kesadaran beragama yang kian meningkat membuat SAMK mengimbangi dengan aneka tulisan yang menjelaskan seputar ibadah dan hari raya Islam.
Sebuah universitas, delapan institut dan 65 madrasah yang mengajarkan Alquran, hadis, dan fikih sengaja dibangun Pemerintah Kyrgyzstan sebagai bagian edukasi Islam. Negara-negara Islam lainnya, seperti Turki, Mesir, dan Arab Saudi juga mendirikan lembaga pendidikan Islam di sana.