Oleh: Dini Kusmana Massabuau, WNI Yang Tinggal di Prancis
Masalah hijab kembali menjadi polemik di Prancis. Nagara yang selalu meneriakan akan dasar kenegaraannya yaitu Laïcité (negara terpisah oleh agama dan tidak berdasarkan kepada agama), di Indonesia mungkin lebih dikenal dengan istilah sistim sekuler. Mengajukan permohonan di senat agar larangan simbol keagamaan dilarang bagi para orang tua yang menemani murid untuk kegiatan di luar sekolah. Tentu saja dalam hal ini, hijab yang lebih diperuntukan. Tuntutat ini diajukan oleh partai sayap kanan Les Républicains (Partai Republik), yang diusulkan oleh senatris Jacqueline Eustache-Brinio.
Simbol keagamaan bagi pegawai BUMN, di dalam lingungan pendidikan dan instansi pemerintah memang dilarang. Namun yang lebih cenderung selalu dipermasalahkan adalah hijab! Tentu saja, karena pakaian muslimah ini terlihat lebih mencolok dibanding simbol keagamaan lainnya.
Islamophobia, tidak bisa dihindari. Banyaknya serangan mengatas namakan islam semakin membuat masyarakat Prancis, lebih mengenal islam sebagai agama yang keras.
19 tahun hidup di Prancis, saya mengalami bagaimana kehidupan sebagai seorang Muslimah sebelum dan sesudah saya berhijab. Sebelum berhijab, kondisi sebagai muslim hanya saya rasakan seputar masalah hari-hari perayaan umat islam atau sulitnya mendapatkan masjid dan suasana Ramadhan yang tak mendukung.
Ketika saya menggunakan hijab, barulah kehidupan baru setelah belasan tahun hidup di Montpellier Prancis berubah. Rasanya adaptasi yang sudah 18 tahun harus saya ulang kembali, dan semuanya hanya karena saya memutuskan untuk berhijab.
Salah satu gedung milik walikota Montpellier yang diperbolehkan untuk digunakan kegiatan keagamaan. Shalat Ied, tarawih dan buka puasa bersama.
Setelah adanya larangan burkini di beberapa kota, kini wanita berhijab kembali digoncangkan dengan permohonan dari partai kanan Partai Republik agar semua simbil keagamaan tidak diperkenankan meskipun hanya untuk menemani murid-murid sekolah saat kegitaan di luar sekolah.
Di Prancis, sejak TK aktivitas di luar sekolah menjadi kegiatan rutin. Seperti salah satunya berenang yang diadakan untuk beberapa seminggu sekali. Berhubung kolam renang biasanya cukup jauh dari sekolah, maka selalu dibutuhkan dampingan beberapa orang tua untuk membantu selama perjalanan dari sekolah menuju tujuan hingga membantu anak-anak sekolah untuk persiapan renang mereka. Karena di TK atau SD hanya ada 1 guru di tiap kelas dan itu tidak memungkinkan bagi para pengajar untuk melakukan semuanya untuk 25 hingga 30 murid.
Selama saya tinggal di Prancis saya sendiri boleh dibilang menjadi bagian salah satu yang selalu hadir menemani anak-anak sekolah dalam berbagai aktivitas. Dari mulai aktivitas wajib hingga berupa kegiatan budaya, kunjungan museum, melihat pertunjukan, pementasan, film dan kegiatan lainnya.
Dan selama ini memang kebanyakan justru para ibu muslimah yang selalu menyediakan waktu mereka dan siap membantu! Karena memang sebagian besar wanita Muslim yang berhijab adalah ibu rumah tangga, maka merekalah justru yang selama ini sangat membantu berjalannya aktivitas di luar sekolah bisa berjalan. Kenapa saya bilang bisa berjalan? Karena peraturan untuk kegiatan di luar sekolah salah satunya adalah harus ada pendamping selain guru. Jika tidak ada pendamping para orang tua murid, maka kegiatan terpaksa dibatalkan. Dan ini beberapa pernah terjadi, karena para ibu yang biasanya dengan setia menemani murid-murid tidak bisa melakukannya.
Kebanyakan memang wanita Prancis di sini mereka bekerja. Sehingga waktu mereka tidak mudah untuk disediakan pada jam sekolah anak mereka di mana merekapun sedang bekerja.
Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi sangat marah ketika permohonan adanya larangan simbol agama digunakan saat kegiatan murid di luar sekolah. Karena cukup jelas larangan itu tentunya lebih ke arah hijab yang bagi kaum Muslim bukanlah sekedar simbol.
Kemarahan ini, membuat banyaknya demo para wanita. Hijab dan tidak semua ikut berdemo. Islam dan non muslimpun ikut berpartisipasi. Kebanyakan para orang tua murid yang melakukan demo di depan sekolah anak-anak mereka sadar bagaimana selama ini berbagai kegiatan anak-anak mereka bisa selalu berjalan dengan lancar. Dan para orang tua yang non Muslim tidak pernah melihat dampak langsung karena salah satu pendampingnya berhijab. Malah beberapa merasa, sudah waktunya sejak dini anak-anak mereka melihat banyaknya perbedaan dalam kehidupan bersosial.
Para mslimah dalam gedung milih walikota Montpellier hadir untuk melakukan shalat Ied.
Protes yang banyak dilakukan oleh para pengunjuk rasa memprotes amandemen yang diadopsi oleh Senat pada 15 Mei selama pemeriksaan RUU tentang "Sekolah kepercayaan" Menteri Pendidikan, Jean-Michel Blanquer. Demo ini dilakukan diberbagai kota. Salah satunya di Montpellier kota saya tinggal yang pertama justru langsung menyatakan keberatan atas hal ini. Menurut para orang tua setiap orang tua berhak untuk menemani anak-anak mereka dikegiatan di luar sekolah. Mereka hanya menenami, tidak memberikan pelajaran apapun. Mereka bukan pengajar, murni sebagai pendamping saat aktivitas di luar sekolah atau boleh dibilang jalan-jalan.
Selama ini mereka sangat taat dengan sistem sekuralisme di Prancis, anak-anak perempuan tidak ada yang berhijab di sekolah. Wanita yang bekerja terpaksa melepaskan hijab mereka saat bekerja karena peraturan yang berlaku. Jadi bagi mereka jika hal seperti mendampingi anak-anak diluar sekolahpun masih saja dituntut bagi mereka sudah merupakan diskriminasi, tidak lagi sesuai dengan simbol prancis yaitu liberté, égalité,fraternité (kebebasa, keadilan dan persaudaraan)
Prancis memang memegang teguh prinsip dasar negaranya. Tapi terkadang banyak orang yang menganggapnya lebih condong ke arah ketakutan dan kurangnya keterbukaan. Ketika salah satu toko olah raga terkenal di Prancis mengeluarkan hijab running, yang mana sudah dijual di banyak negara Eropa dan Amerika. Di Prancis para tokoh politik dan feminisnya menjerit tanda ketidak setujuan, bahkan sampai mengecam toko olah raga tersebut, yang akhirnya menarik produk hijab running mereka. Hal yang membuat banyak warga prancis justru menyayangkan kepicikan dari keputusan yang telah diambil akibat tekanan dari pihak para politikus.
Untungnya pada 13 Juni amandemen larangan hijab dihapus dari hukum Blanquer. Wakil daerah dari Forbach, Prancis Christophe Arend menentang keras adanya larangan yang diajukan oleh Partai Republik ke senat. "Kami senang bahwa amandemen ini dihapus dari teks. Kami menyadari kesulitan menemukan orang tua yang tersedia untuk menemani anak-anak di lingkungan tertentu, dan pilihan Senator ini akan mengakibatkan akhir perjalanan sekolah karena kurangnya sukarelawan, semakin menonjolkan kesenjangan sosial-ekonomi " menurut Christophe Arend.
Para muslimah indonesia yang berhijab juga menyampaikan kelegaan atas dihapusnya permintaan larangan simbol agama dalam rangka menemani anak sekolah di luar sekolah.
Siti Madinah, salah satu WNI yang berhijab menyatakan ''Selama ini saya tidak pernah mengalami masalah baik di sekolah ataupun di lingkungan tempat saya tinggal. Kegiatan anak-anak selalu saya dampingi, entah itu untuk kegiatan di luar sekolah seperti renang, pertunjukan dan masih banyak lainnya, malah setiap hari raya saya meminta ijin untuk memboloskan anak-anak kami, para guru selalu memperbolehkan tanpa ada masalah. Jadi saya tidak mengerti mengapa islam selalu saja dipojokan padahal kami sudah begitu banyak mengikuti peraturan yang ditetepkan pemerintahan prancis, dan kami ini bukanlah merupakan ancaman, hijab kami adalah semata karena kepercayaan kami pada Tuhan kami, selebihnya sikap dan cara kami hidup dikeseharian ya layaknya orang-orang prancis lainnya'', tegas Siti Madinah ibu dari dua anak yang menikah dengan pria prancis.
Masih banyak lagi nada tidak mengerti dari para orang tua akan selalu ditentangnya simbol keagamaan yang selalu dianggap sebagai ancaman. Padahal sejauh ini bagi saya dan juga banyak warga prancis sendiri yang jutsru non muslim, mereka selebihnya tidak terlalu memperdulikan hal ini. Berjilbab tidak berjilbab bagi mereka itu adalah kebebasan setiap manusia dalam mengekspresikan diri mereka. Selama tidak melanggar ketentuan yang ada bagi keluarga teman-teman prancis bukanlah hal yang harus menjadi polemik.
Memang saya akui, sebagai jurnalis kontributor ketika saya harus meliput disebuah lembaga milik pemerintahan, saya berkewajiban melepas hijab saya, tapi kompromi dengan pihak setempat maka saya menggantikan dengan topi (diprancis dinamakan bonnet) yang menutup seluruh rambur saya dan topi ini dipakai oleh seluruh orang prancis. Dan cara ini boleh dibilang sama-sama membuat kedua belah pihak tenang.
Sebenarnya permintaan larangan menemani murid dengan simbol keagamaan bukan pertama kali diajukan ke senat. Tapi saat itupun permintaan itu tidak dikabulkan karena banyaknya wakil DPR yang menentang.
Tahun ini alhamdulillah, perminataan itu kembali ditentang dan dihapuskan. Tapi ini bukan merupakan kemenangan. Karena kami sadar, permintaan ini kemungkinan besar akan diajukan kembali. Perjuangan para muslim di Prancis memang masih panjang. Dan sulit bagi kami untuk bisa tenang. Negara Prancis dengan dasar kenegaraannya memang yang membuat banyak hal dari segi keagamaan menjadi kesulitan. Tapi yang paling mendapat rintangan tidak bisa dipungkiri adalah islam.