Selasa 18 Jun 2019 19:00 WIB

Azan Terakhir Bilal

Semenjak Rasulullah SAW wafat, Bilal urung mengumandangkan azan.

Kabah
Foto: Reuters/Fahad Shadeed
Kabah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Abu Bakar as-Shiddiq tak bisa memaksa Bilal untuk kembali menggemakan azan. Semenjak Rasulullah SAW wafat, Bilal urung mengumandangkan kembali seruan shalat itu. Bilal hanya ingin menjadi muazin Rasulullah.

Kepada Abu Bakar, dia pun berkata dia tak menjadi muazin siapa-siapa selepas wafatnya Rasulullah. Bilal masih saja dirundung duka lantaran ditinggal Rasulullah. Untuk menenangkan hatinya, Bilal meninggalkan Madinah. Dia mengikuti pasukan Fath Islamy menuju Syam kemudian tinggal di Homs, Suriah.

Sampai pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpi Bilal. Nabi pun menegurnya: "Ya Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku?" Bilal terbangun. Dia lantas memutuskan untuk kembali ke Madinah. Dia hendak berziarah ke makam Rasulullah SAW, sahabatnya.

Setiba di makam Rasulullah,  Bilal bertemu dua pemuda tampan yang beranjak dewasa. Mereka adalah anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, Hasan dan Husein, yang notabene cucu baginda Nabi. Ditemui Hasan dan Husein, Bilal menangis. Dia memeluk kedua pemuda itu.

Salah satu dari keduanya meminta kepada Bilal untuk  mengumandakan azan meski hanya sekali. Suara Bilal dianggap dapat membuat mereka mengenang kakeknya, Rasulullah SAW. Pada saat bersamaan, Umar bin Khattab yang telah menjadi khalifah ikut memohon Bilal untuk mengumandangkan azan. Bilal pun memenuhi permintaan itu.

Saat waktu shalat tiba, dia naik ke tempat dahulu biasa dia azan pada masa Rasulullah masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan azan. Penduduk Madinah senyap saat lafaz "Allahuakbar" dikumandangkan. Saat Bilal menyeru kalimat, "Asyhaduanlaa ilahaillallah", dada mereka tercekat demi mengenang kalimat selanjutnya.

Bilal pun mengumandangkan "Asyhaduanna Muhammadan Rasulullah" hingga membuat penduduk Madinah menangis dan meratap. Mereka teringat masa-masa indah bersama Rasulullah. Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya.

Bilal pun tak sanggup meneruskan azannya. Air matanya terus mengalir. Hari itu menjadi azan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Azan yang tak bisa dirampungkan.

Azan tak bisa dilepaskan dari sosok Bilal bin Rabah. Semasa Rasulullah hidup di Madinah, berkumpullah para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana caranya memanggil orang untuk shalat. Ketika itu, arah kiblat baru saja dipindah dari Masjidil Aqsa ke arah Ka'bah di Makkah.

Saat itu, ada yang mengusulkan dengan nuqus atau lonceng, sebagian lagi dengan trompet. Namun, Rasulullah beranggapan cara itu sama dengan apa yang dilakukan orang Nasrani.

Lantas, Abdullah bin Zaid al-Khazraji datang kepada Rasulullah SAW dan bercerita, "Tadi malam aku bermimpi. Ada seorang pria berpakaian hijau membawa lonceng di tangannya. Aku pun bertanya, 'Apakah engkau menjual lonceng itu?' Dia balik bertanya, 'Untuk apa?' Aku menjawab, 'Untuk memanggil orang-orang shalat berjamaah.' Dia berkata, 'Maukah kuberi tahu apa yang lebih baik dari lonceng?' Aku bertanya, 'Apa itu?' Dia mengatakan, 'Serukanlah Allahu akbar, Allahuakbar—hingga akhir azan.'"

Mendengar cerita itu, Rasulullah berkata, "Insya Allah, mimpi itu benar. Berdirilah bersama Bilal. Ajarkanlah azan itu kepadanya. Suruh dia menyeru orang-orang dengan lafaz-lafaz azan itu. Sebab, suaranya lebih keras daripada suaramu."

Pendiri Ihaqi Ustaz Erick Yusuf mengisahkan, ketika Bilal mengumandangkan azan, Umar bin Khattab mendengar seruan itu dari rumahnya. Dia pun segera pergi menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Nabi Allah, demi Zat yang telah mengutusmu dengan benar, aku telah bermimpi seperti mimpi yang dialami Abdullah bin Zaid al-Khazraji." Mendengar itu, Nabi SAW berkata, "Segala puji bagi Allah, hal itu lebih menguatkan."

Pada masa Rasulullah SAW, begitu pula pada masa Khulafaur Rasyidin, Masjid Nabawi belum memiliki menara azan yang bisa dinaiki oleh muazin. Dahulu, Bilal bin Rabah mengumandangkan azan shalat Subuh dari atas rumah Sahl, seorang wanita dari bani Najjar.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Urwah bin az-Zubair, dari seorang wanita bani Najjar yang berkata, "Rumahku adalah bangunan paling tinggi sekitar masjid. Setiap pagi, Bilal mengumandangkan azan Subuh dari atas rumahku. Pada waktu sahur, Bilal datang, lalu dia duduk menunggu fajar. Ketika sudah melihat fajar, dia menegakkan badannya kemudian berdoa, 'Ya Allah, sungguh aku memuji-Mu dan meminta pertolongan-Mu dari kaum Quraisy untuk menegakkan agama-Mu.' Setelah itu, dia mengumandangkan azan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement