Senin 13 May 2019 16:16 WIB

Wallada Binti Al-Mustakfi: Mengembangkan Tradisi Seni

Wallada menggunakan hartanya untuk membangun pusat pengembangan ilmu

Masjid Agung Umayyah
Foto:

Ia membangun sebuah istana dan pusat literatur di Cordoba yang selanjutnya mewujud sebagai pusat kegiatan keilmuan dan seni. Di dua tempat itu, ia membuka kesempatan bagi perempuan untuk belajar literatur dan sastra, di antaranya menggubah puisi. Tak sebatas itu, Wallada pun jadi pusat perhatian bagi para penyair dan kalangan intelektual.

Mereka berbondong untuk datang ke tempat Wallada, berkumpul dan berbagi ilmu. Wallada dianugerahi kecantikan memesona. Menambah daya tarik dirinya selain karena otaknya yang cemerlang. Harus diakui pula, ia sempat menyulut kontroversi karena ia tak mengenakan hijab saat berada di depan publik. Sikapnya menuai protes sejumlah ulama.

Kalangan lainnya, termasuk ulama, memilih sikap berbeda. Mereka membela dan mendukung Wallada. Ibnu Hazm, salah satu di antaranya pembela Wallada. Menurut AJ Arberry dalam The Ring of the Dove: A Treatise on the Art and Practice of Arab Love, Ibnu Hazm merupakan cendekiawan ternama kala itu.

Ibnu Hazm seorang filsuf, pakar literatur, psikolog, sejarawan, pakar hukum, dan teolog. Dia pendiri salah satu mazhab dalam Islam, yaitu Zahiri, yang menuliskan sebanyak 400 karya tulis dan hanya 40 buah yang masih bertahan. Tulisannya tentang yurisprudensi Islam, logika, sejarah, etika, perbandingan agama, dan teologi.

Tradisi puisi di Cordoba ketika Wallada hidup adalah menuntaskan puisi yang belum usai. Wallada diakui dalam bidang tersebut. Sebab lainnya adalah dia perempuan yang berani bertarung dalam bidang itu. Ketika itu, sebagian besar penyair adalah laki-laki dan kompetisi tersebut didominasi laki-laki.

Dalam sebuah kompetisi, ia bertemu seorang penyair, Ibnu Zaydun, yang membuatnya jatuh hati. Ibnu Zaydun bukan sekadar penyair, melainkan dia juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik. Ia memiliki hubungan erat dengan Banu Yawhar yang dalam politik merupakan lawan Bani Umayyah. Maka, hubungan mereka menuai kontroversi.

Sejumlah puisi yang ditulis Wallada terkait dengan hubungan mereka mengungkapkan kecemburuan, nostalgia, dan berkeinginan untuk bersatu. Wallada meninggal pada 26 Maret 1091 dalam usia 80 tahun, bersamaan dengan kekuatan Almowavid memasuki wilayah Cordoba.

Wallada memiliki banyak murid. Satu murid yang paling cemerlang di bawah bimbingannya adalah Muhya binti al-Tayyani, anak perempuan dari seorang penjual buah kurma. Muhya dengan tekun menimba ilmu di rumah Wallada. Setelah kematian Wallada, dia menuliskan beberapa puisi satire tentang gurunya itu. n

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement